Selasa, 08 September 2009

Diusir Pol PP, Penjual Ikan dan Sayur Tetap Jualan

Walupun aparat polisi pamong praja terus mengusir dan membongkar tempat jualan ikan dan sayur di Kota Lewo-leba, aktivitas penjualan terus dilakukan para penjual. Mereka tak peduli dengan Perda nomor 12 tahun 2003 yang melarang daerah pertokoan dan sekitarnya menjadi tempat berdagang ikan dan sayur. Mereka (pedagang—red) tidak punya pilihan lain karena lokasi pasar Pada dan Lamahora jauh dari pemukiman dan penjual enggan berkunjung.
Nursia Sedong, salah seorang penjual ikan di bilangan Bumi Raya Kota Lewoleba ditemuai Demos, (Rabu, 12/6) menuturkan, lokasi Pada dan Lamahora sangat tidak ada pengunjungnya. Disamping itu, sarana pendukung samasekali tidak menunjang untuk ikan tetap segar.
Ia mengatakan, penjualan ikan dan sayuran di kedua lokasi pasar yang ditentukan pemerintah, Sedong dan rekan-rekannya bukan memperoleh untung tetapi mengalami kerugian.
“Kami jualan disini per hari kami bisa memperoleh keuntungan rata-rata Rp.100.000,00 per hari. Bahkan, sebelum pasar lama terbakar penghasilan bisa mencapai sehari Rp. 200.000,00, ujar ibu 3 anak ini”.
Hal yang sama diungkapkan Kartini Baha Belutowe. Ia, memperoleh keuntungan Rp. 50,000 sampai Rp.150.000 perhari bila berjualan di lokasi Bumi Raya.
Dikatakan, keuntungan bisa diperoleh menjula di Bumi Raya karena banyak pembeli yang datang membeli.
Lain lagi dengan Lasmi wati (21). Warga kelurahan Lewoleba Barat, Kecamatan Nubatukan ini merasa tidak nyaman berjualan sayur karena sering diusir secara paksa polisi pamong praja. Ia tetap menjual di lokasi tersebut karena biaya transportasi ke Pasar Pada sangat mahal.
“Biaya ke Pasar Pada saja sangat sangat mahal. Bagaimana kami bisa untung,” ungkap Lasmi.
Untuk bisa menjual ikan, Lasmi meminjam uang untuk modal dengan bunga yang tinggi. Jika disuruh pindah ke Pasar Pada ia tidakmungkin dilakukannya.
“Walau dianiaya sekalipun, kami tetap bertahan. Karena kami pindah di Pasar Pada, sama saja kami membunuh kehidupan kami secara perlahan-lahan,”ujar Lasmi sambil meneteskan air mata.
Lasmi bertanya bahkan bertanya kepada pemerintah Lembata. “Butakah mata para penguasa di daerah ini melihat nasib kami seperti ini?” Paulus Payong, Yoakim Sinung.

HAM Dimiliki Karena Dia Manusia

Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia. Hak itu dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau negara. Jadi bukan berdasarkan hukum positif yang ditetapkan oleh negara melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Manusia memiliki hak itu karena ia manusia. Dalam paham hak asasi termasuk bahwa hak itu tidak dapat dihilangkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh negara. Negara dapat saja tidak mengakui hak-hak asasi itu. Dan itu berarti bahwa hak-hak asasi itu tidak dapat dituntut di depan hukum. Tidak mengakui hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia menunjukkan bahwa dalam negara itu, martabat manusia be-lum diakui sepenuhnya.
Hal ini disampaikan Dr. Philp. Norbet, MA pada pertemuan kelas Sekolah Demokrasi Lembata membahas modul HAM dan Demokrasi di Aula Lewoleba Hotel, Rabu (24/6)
Menurutnnya, di satu pihak, hak-hak asasi manusia mengungkapkan tuntutan-tuntutan dasar martabat manusia. Tetapi di lain pihak, karena tuntutan-tuntutan itu dirumuskan sebagai hak atau kewajiban yang konkret dan operasional, tuntutan-tuntutan itu dapat dimasukkan ke dalam hukum positif sebagai norma dasar. Bahwa tuntutan-tuntutan hak asasi manusia itu sebagai norma dasar dalam tatanan hukum positif. Itu berarti lanjutnya, bahwa semua norma hukum lainnya tidak boleh bertentangan dengan mereka.
“Dari sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa semakin banyak dari tuntutan-tuntutan dasar keadilan dan martabat manusia dimasukkan sebagai hak asasi ke dalam hukum positif, maka semakin terjamin juga bahwa hukum itu memang adil dan sesuai dengan martabat manusia,” ungkap Robert.
Dijelaskan, menghindari pemahaman dan pelaksanaan keliru hak asasi itu karena muncul istilah yang bersesuaian dengan itu ialah kewajiban asasi. Supaya tidak dipahami bahwa hak asasi itu hanya bisa dituntut kalau seseorang juga sudah memenuhi kewajiban asasinya. Jadi semacam ada syaratnya. Padahal HAM itu bersifat absolut, artinya tanpa syarat apapun karena hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia karena ia manusia. Kalau begitu, dalam arti apa kewajiban asasi dibicarakan bersamaan dengan hak asasi.
“Kalau UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia menetapkan dalam Bab IV, pasal 67 – 70, tentang kewajiban dasar manusia, maka penetapan itu bukanlah syarat bagi penjaminan HAM seseorang. Penetapan itu hanyalah pedoman bagi masyarakat agar pelaksanaan HAM bisa berjalan dengan baik; “Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal-balik,” jelas Norbert.
Akan tetapi hak asasi seseorang tidak dicabut hanya karena dia tidak melakukan kewajiban asasi itu, karena HAM tidak berasal dan tidak diberikan oleh masyarakat melainkan berasal dari manusia itu sendiri yang dijamin pelaksanaannya oleh masyarakat/Negara,” ungkap Norbert.
Dikatakan, kewajiban asasi adalah sebenarnya ungkapan lain bagi penjaminan hak asasi manusia. Kalau saya didiskriminasi dalam mencari pekerjaan karena agama saya maka saya pada prinsipnya dapat mengadu ke pengadilan. Tetapi kalau saya tidak menemukan pekerjan maka saya tidak dapat mengadukan negara di pengadilan. Apalagi kalau pada umumnya pendapatan sebagian masyarakat memang tidak mencukupi.
Padahal suatu hak hukum harus dapat dituntut di hadapan pengadilan.Kesulitan itu menunjukkan bahwa kerangka kita terlalu sempit kalau paham hak asasi, kita batasi pada hak-hak hukum saja. Hak-hak asasi positif dapat kita tampung dalam suatu kerangka yang mengoperasionalkan tuntutan-tuntutan martabat manusia dalam dua bentuk: sebagai hak hukum atau sebagai kewajiban politik. Hak asasi atas pendidikan lantas berarti kewajiban politik negara untuk mengambil semua daya upaya untuk menjamin sarana pendidikan yang memadai bagi segenap anggota masyarakat. Hak itu tidak dapat dituntut secara individual di pengadilan, melainkan merupakan kewajiban politik yang ditagih secara politik juga.
Norbet mengulasnya, bahwa pengertian ini memang memperluas kerangka teoretis paham hak asasi manusia. Positivisasi keyakinan-keyakinan dasar tentang martabat manusia yang diusahakan melalui paham “hak asasi manusia” tak perlu hanya dalam bentuk hak hukum, melainkan boleh juga dalam bentuk kewajiban-kewajiban dasar politik yang pelaksanaannya merupakan tuntutan politis yang tidak ditawar-tawari lagi. Tuntutan itu dalam negara demokratis ditagih melalui suara rakyat dalam pemilihan u-mum, sedangkan dalam negara yang tidak demokratis dijadikan fokus perjuangan untuk men-ciptakan demokrasi.

Perumusan HAM: Masyarakat dan Negara
Katalog HAM yang sudah dirumuskan tidak begitu saja dapat di-ambil oper oleh masyarakat lain. Setiap bangsa harus merumuskan sendiri patokan-patokan dasar kehidupan bersama yang mereka anggap menjamin harkat manusiawinya. Akan tetapi relativitas HAM itu sendiri hanya relatif. Maksudnya, yang relatif adalah bentuk ungkapan, sedangkan apa yang mau diungkapkan justru bersifat mutlak.
Hak-hak asasi dapat dipahami sebagai sarana untuk menjamin ke-utuhan setiap manusia dalam struktur-struktur kemasyarakatan di mana perlindungan-perlindungan tradisional tidak efektif lagi: Kebutuhan akan pengakuan HAM dengan jelas sekali ketika hukum keuntungan ekonomis mau menjadi diktator pola kehidupan bersama manusia. Terhadap keganasan kekuatan-kekuatan ekonomis itu, dan juga kemudian terhadap kecenderungan negara yang semakin totaliter, manusia individual yang secara tradisional dilindungi oleh kesatuan kelompoknya dirasa perlu dilindungi. Dengan kata lain, karena kekuatan-kekuatan dalam masyarakat modern menggilas struktur-struktur sosial lama yang melindu-ngi manusia individual, maka perlindungan itu harus diadakan secara khusus. Itulah HAM.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa meskipun struktur-struktur sosial tradisional di Asia dan Afrika pernah sanggup untuk menjamin manusia dalam martabatnya tanpa adanya sarana hukum seperti HAM, namun semakin struktur-struktur itu digeser oleh yang yang bersifat “modern”, maka semakin pula manusia Asia dan Afrika tidak terlindung lagi. Dalam kebanyakan negara Asia dan Afrika tahun 80-an sudah menjadi terang bahwa penyangkalan terhadap hak-hak asasi secara objektif bergandengan dengan pelbagai bentuk penindasan dan penghisapan. Argumen yang mengata-kan bahwa paham hak asasi manusia itu tidak sesuai dengan kebudayaan nasional adalah berbau munafik dan self serving: di satu pihak masyarakat dikontrol dengan ketat dengan tujuan pembangunan suatu ekonomi “modern”, di lain pihak sarana normatif yang justru dikembangkan untuk menjamin manusia terhadap kekuatan-kekuatan itu ditolak.
Hak-hak asasi dapat saja dikembangkan dan berubah, tetapi hanya “ke depan”. Itu artinya, bahwa perumusannya dapat diperbaiki, dipertajam, diimbangi oleh hak-hak lain, tetapi intinya, apa yang dimaksud tidak dapat dihapus kembali. Dan karena masyarakat tidak akan berkembang kembali ke arah masyarakat tra-disional, maka juga tak mungkin muncul kembali suatu situasi di mana penjaminan terhadap hak-hak asasi manusia tidak dibutuhkan. Maka hak-hak asasi manusia yang pernah diakui boleh saja diperbaiki dan diperlengkapi, tetapi intinya tidak dapat dihapus lagi.
Dosen Filsafat UNIKA Kupang ini mengatakan, sejarah perkem-bangan HAM dapat diperoleh melalui dokumen-dokumen kla-sik HAM. Dokumen-dokumen ini memberikan gambaran perkem-bangan HAM. Mulai dari Magna Charta Libertatum (1215): Melarang penahanan, penghukuman, dan perampasan barang dengan sewenang-wenang; Habeas Corpus (1679): Sebuah dokumen keberadaban hukum, yang menetapkan bahwa orang yang ditahan harus dihadapkan dalam tiga hari ke depan hakim dan diberitahu atas tuduhan apa; Bill of Rights (1689): Mengakui hak-hak parlemen sehingga Inggris menjadi negara pertama di dunia yang memiliki konstitusi dalam arti modern. Perkembangan ini dipengaruhi oleh John Locke (1632-1704) yang mengemukakan bahwa semua orang diciptakan sama dan memiliki hak-hak kodrati (natural rights) yang tidak bisa dilepaskan (inali-enable), di antaranya: hak atas hidup, hak atas kebebasan dan hak milik, tetapi juga hak untuk mengusahakan kebahagiaan.
Setelah periode ini, dokumen Bill of Rights of Virginia (1776): daftar hak-hak asasi manusia agak lengkap yang pertama, hampir secara harafiah mengumandangkan John Locke di Amerika dan Declaration des droits des homes et des citoyen (Revolusi Perancis 1789): Pernyataan ini kemudian menjadi pedoman bagi banyak katalog HAM. Di da-lamnya dibedakan antara hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia, yang dibawanya ke dalam masyarakat, dan hak-hak yang diperoleh manusia sebagai warga masyarakat. Disebutkan bahwa semua orang lahir dengan bebas dan sama haknya. Juga disebutkan hak atas kebebasan, hak milik, hak atas keamanan, hak atas perlawanan terhadap penindasan. Sebagai warga negara orang berhak untuk ikut dalam pembuatan Undang-Undang.
Selama abad 19 burjuasi liberal memperjuangkan negara konstitusional dan pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia melawan pemerintah yang feodal dan absolutistik. Kaum buruh lalu mendukung perjuangan kaum borjuis itu untuk memperjuangkan hak mereka sebagai pekerja, dan lahirlah hak-hak asasi sosial. Berbeda dengan pemikiran HAM abad 20, penindasan semakin dilakukan oleh negara sendiri terhadap masyarakatnya sendiri. Pernyataan hak-hak asasi sedunia yang pertama, yang diterima Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 tidak hanya memuat hak-hak asasi yang diperjuangkan oleh liberalisme dan sosialisme, melainkan juga mencerminkan pengalaman penindasan oleh rejim fasis dan nasiona-lisosialis tahun 20-40-an. Sementara itu bangsa-bangsa yang dijajah mempergunakan paham hak asasi, terutama “hak untuk menentukan diri sendiri” sebagai senjata ampuh untuk melegitimasikan perjuangan mereka untuk mencapai kemerdekaan.

Generasi HAM
Norbert dalam penjelasan lanjutan mengatakan, deklarasi HAM PBB 1948 merupakan generasi pertama. Dikatakan, persoalan universalitas dan partikularitas HAM sudah muncul di dalam diskusi prersiapan deklarasi PBB tentang HAM yang dipimpin oleh ketuanya Ny. Eleanore Roosevelt (1884-1962), yang akhirnya dicetuskan pada tanggal 10 Desember 1948 di Paris. Karena pengalaman kekuasaan teror dan kekerasan tidak manusiawi selama Perang Dunia II yang meng-hantui, maka dalam Charta Pembentukan PBB pada tanggal 24 Oktober 1945 disebutkan misi PBB, yakni untuk menjadi lembaga yang memperhatikan dan melindungi hukum yang melindungi nasib manusia. PBB menetapkan sebagai kewajibannya untuk menumbuhkan dan memperkuat penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia bagi semua manusia tanpa perbedaan ras, jenis kelamin, bahasa dan agama. Kemanusiaan menjadi sebuah pengertian yang sangat penting dan mendasar, karena pengalaman bahwa berbagai atribut yang ditambahkan kepadanya ternyata dapat menjadi alasan penghancuran manusia oleh manusia, ungkap Robert.
Dikatakan, dalam diskusi yang lebih mendetail tentang HAM dalam Komisi HAM yang mempersiapkan deklarasi PBB ada ketegangan antara negara-negara Blok Timur yang lebih menekankan hak sosial dengan negara-negara Blok Barat yang telah memberikan perhatian hak-hak pribadi dan hak-hak politik warga. Ketegangan itu mencerminkan perbedaan ideologi: di satu pihak ideologi kapitalisme yang memperjuangkan hak-hak individu dan pembebasan seja-uh mungkin dari kontrol ketat negara; di pihak lain ada ideologi sosialisme/komunisme yang mengutamakan hak-hak sosial. Karena itu Uni Soviet dan negara bonekanya memilih abstain saat pemutusan pemakluman Dekla-rasi PBB pada tahun 1948 itu, wa-laupun deklarasi itu sendiri sudah mencantumkan kewajiban dan ikatan individu manusia pada kelompok sosial ketika mengatakan (Art. 29):
“Setiap orang mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap masyarakat, karena hanya di dalamnya pengembangan kepribadiannya secara penuh dan bebas dimungkinkan”.
Dari 58 negara anggota PBB saat itu, 48 memberikan persetujuannya, sementara 10 lainnya memilih abstain, tidak ada yang menolak. Mereka yang abstain: Uni Soviet, Arab Suadi, Jugos-lavia, Ukraina, Rusia Putih, Polandia, Cekoslowakia dan Afrika Selatan.
Generasi ke dua adalah dua pakta HAM 1966. Dijelaskan, tahun 1966 dibuat dua persetujuan PBB, pertama persetujuan internasional tentang hak-hak ekonomis, sosial dan kultural, kedua persetujuan internasional tentang hak-hak sipil dan politik. Kedua pakta ini berbeda dengan piagam PBB tahun 1948, karena kedua pakta itu menjabarkan HAM secara mendetail dalam aspek individual dengan hak pribadi dan politik dan dalam aspek sosial dengan hak ekonomi dan kultural. Kedua pakta ini memberikan pendasaran ikatan hukum pelaksanaan HAM, yang mulai berlaku pada tahun 1976.
Pendeklarasian pada tahun 1948 memang merupakan sebuah momen penting, terutama karena persitiwa ini adalah sebuah peristiwa yang langka terjadi, di mana peme-rintah negara-negara dunia bersamasama mendeklarasikan sebuah Charta yang mem punyai konsekuensi atas penyelenggaraan kekuasaannya. Tetapi peristiwa ini lebih merupakan ungkapan tekad moral bangsa-bangsa tersebut. Pendasaran hukum dengan kekuatan yang lebih mengikat baru terwujud dalam deklarasi tahun 1966. Ber-sama Deklarasi HAM PBB ke-dua pakta ini membentuk se-buah lembaga International Bill of Rights.
Sementara itu, generasi ketiga terjadi Kongres HAM PBB di Wina 1993. Pada kongres internasional kedua tentang HAM yang diselenggarakan oleh PBB di Wina pada tahun 1993, delegasi Cina menuntut agar setiap negara diberikan hak untuk mendefinisikan dan mengatur pelaksanaan HAM sesuai dengan kondisi di dalam negaranya, karena negara-negara Asia misalnya memliki pemahaman akan HAM yang khas. Selain itu tuntutan ini didasar-kan pada prioritas yang mesti diberikan di Asia terhadap hak kelompok sosial daripada kepada individu. Yang sangat ditekankan oleh negara-negara Asia adalah pentingnya pembangunan yang mesti mendahului perhatian terhadap HAM dan kedaulatan setiap negara yang tidak membenarkan adanya campur tangan dari pihak luar, juga dalam soal pelaksanaan HAM.
Di Asia menurut Rober, deklarasi HAM tahun 1983. “Dalam tahun 70-an perjuangan demi hak-hak asasi manusia semakin terarah pada apa yang sering disebut sebagai repressive deve-lopmentalist regimes, rejim-rejim sebagaimana banyak muncul di negara-negara berkembang yang menindas kebebasan politik, sosial dan ekonomi masyarakat demi suatu pembangunan ekonomis yang hasilnya terutama dinikmati oleh golongan elite. Contoh daftar hak asasi yang memperhatikan konstelasi politis sekarang adalah Declaration of the Basic Duties of ASEAN Peoples and Governments yang disepakati oleh sidang umum pertama Regio-nal Council on Human Rights in Asia pada 9 Desember 1983,” ungkap Robert.
Pada bagian lain, narasumber Dr. Karolus Kopong Medan, SH, M. Hum dalam kesempatan yang sama mengatakan, hubungan antara demokrasi dan HAM merupakan kesatuan yang tidak dipisahkan. Menurutnya, demokrasi tidak akan berjalan dengan baik andaikata hak-hak setiap orang; baik sebagai individu maupun kolektif tidak mendapat perhatian serius; HAM adalah salah satu hak dasar manusia yang juga mesti menda-patkan perlindungan dalam setiap kegiatan demokrasi. Pelanggaran terhadap nilai-nilai demokrasi akan berdampak pada pengingkaran terhadap HAM.
Menurut Karolus, prinsip HAM menjadi perangkat dan dasar bagi hubungan Negara yang demokratis, khususnya relasi antara Negara dan rakyat. Prinsip HAM dapat menjadi kaidah yang mengatur tata hubungan antar Negara, menjadi dasar proteksi bagi masyara-kat dalam kehidupan bernegara; dan menjadi indikator utama bagi Negara dalam memperlakukan rakyatnya
Terkait dengan penegakan Karolus mengatakan, komponen utama penegakan HAM adalah Negara. Negara sebagai institusi yang paling bertanggungjawab dalam me-lindungi, mengatur, mengelola dan menegakan HAM.
Dijelaskan, HAM perlu mendapat perhatian melalui hukum karena HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia. Oleh karena itu, HAM harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh di-abaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.
Hukum lanjutnya, merupakan salah satu sarana yang ampuh untuk mencegah dan menanggulangi pelanggaran HAM, selain memiliki daya paksa untuk memaksa siapapun untuk mempertanggunjwabkan perbuatannya tanpa memandang bulu. Hipol/kopong/Alex murin