Selasa, 08 September 2009

Diusir Pol PP, Penjual Ikan dan Sayur Tetap Jualan

Walupun aparat polisi pamong praja terus mengusir dan membongkar tempat jualan ikan dan sayur di Kota Lewo-leba, aktivitas penjualan terus dilakukan para penjual. Mereka tak peduli dengan Perda nomor 12 tahun 2003 yang melarang daerah pertokoan dan sekitarnya menjadi tempat berdagang ikan dan sayur. Mereka (pedagang—red) tidak punya pilihan lain karena lokasi pasar Pada dan Lamahora jauh dari pemukiman dan penjual enggan berkunjung.
Nursia Sedong, salah seorang penjual ikan di bilangan Bumi Raya Kota Lewoleba ditemuai Demos, (Rabu, 12/6) menuturkan, lokasi Pada dan Lamahora sangat tidak ada pengunjungnya. Disamping itu, sarana pendukung samasekali tidak menunjang untuk ikan tetap segar.
Ia mengatakan, penjualan ikan dan sayuran di kedua lokasi pasar yang ditentukan pemerintah, Sedong dan rekan-rekannya bukan memperoleh untung tetapi mengalami kerugian.
“Kami jualan disini per hari kami bisa memperoleh keuntungan rata-rata Rp.100.000,00 per hari. Bahkan, sebelum pasar lama terbakar penghasilan bisa mencapai sehari Rp. 200.000,00, ujar ibu 3 anak ini”.
Hal yang sama diungkapkan Kartini Baha Belutowe. Ia, memperoleh keuntungan Rp. 50,000 sampai Rp.150.000 perhari bila berjualan di lokasi Bumi Raya.
Dikatakan, keuntungan bisa diperoleh menjula di Bumi Raya karena banyak pembeli yang datang membeli.
Lain lagi dengan Lasmi wati (21). Warga kelurahan Lewoleba Barat, Kecamatan Nubatukan ini merasa tidak nyaman berjualan sayur karena sering diusir secara paksa polisi pamong praja. Ia tetap menjual di lokasi tersebut karena biaya transportasi ke Pasar Pada sangat mahal.
“Biaya ke Pasar Pada saja sangat sangat mahal. Bagaimana kami bisa untung,” ungkap Lasmi.
Untuk bisa menjual ikan, Lasmi meminjam uang untuk modal dengan bunga yang tinggi. Jika disuruh pindah ke Pasar Pada ia tidakmungkin dilakukannya.
“Walau dianiaya sekalipun, kami tetap bertahan. Karena kami pindah di Pasar Pada, sama saja kami membunuh kehidupan kami secara perlahan-lahan,”ujar Lasmi sambil meneteskan air mata.
Lasmi bertanya bahkan bertanya kepada pemerintah Lembata. “Butakah mata para penguasa di daerah ini melihat nasib kami seperti ini?” Paulus Payong, Yoakim Sinung.

HAM Dimiliki Karena Dia Manusia

Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia. Hak itu dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau negara. Jadi bukan berdasarkan hukum positif yang ditetapkan oleh negara melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Manusia memiliki hak itu karena ia manusia. Dalam paham hak asasi termasuk bahwa hak itu tidak dapat dihilangkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh negara. Negara dapat saja tidak mengakui hak-hak asasi itu. Dan itu berarti bahwa hak-hak asasi itu tidak dapat dituntut di depan hukum. Tidak mengakui hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia menunjukkan bahwa dalam negara itu, martabat manusia be-lum diakui sepenuhnya.
Hal ini disampaikan Dr. Philp. Norbet, MA pada pertemuan kelas Sekolah Demokrasi Lembata membahas modul HAM dan Demokrasi di Aula Lewoleba Hotel, Rabu (24/6)
Menurutnnya, di satu pihak, hak-hak asasi manusia mengungkapkan tuntutan-tuntutan dasar martabat manusia. Tetapi di lain pihak, karena tuntutan-tuntutan itu dirumuskan sebagai hak atau kewajiban yang konkret dan operasional, tuntutan-tuntutan itu dapat dimasukkan ke dalam hukum positif sebagai norma dasar. Bahwa tuntutan-tuntutan hak asasi manusia itu sebagai norma dasar dalam tatanan hukum positif. Itu berarti lanjutnya, bahwa semua norma hukum lainnya tidak boleh bertentangan dengan mereka.
“Dari sini kita bisa menarik kesimpulan bahwa semakin banyak dari tuntutan-tuntutan dasar keadilan dan martabat manusia dimasukkan sebagai hak asasi ke dalam hukum positif, maka semakin terjamin juga bahwa hukum itu memang adil dan sesuai dengan martabat manusia,” ungkap Robert.
Dijelaskan, menghindari pemahaman dan pelaksanaan keliru hak asasi itu karena muncul istilah yang bersesuaian dengan itu ialah kewajiban asasi. Supaya tidak dipahami bahwa hak asasi itu hanya bisa dituntut kalau seseorang juga sudah memenuhi kewajiban asasinya. Jadi semacam ada syaratnya. Padahal HAM itu bersifat absolut, artinya tanpa syarat apapun karena hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia karena ia manusia. Kalau begitu, dalam arti apa kewajiban asasi dibicarakan bersamaan dengan hak asasi.
“Kalau UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia menetapkan dalam Bab IV, pasal 67 – 70, tentang kewajiban dasar manusia, maka penetapan itu bukanlah syarat bagi penjaminan HAM seseorang. Penetapan itu hanyalah pedoman bagi masyarakat agar pelaksanaan HAM bisa berjalan dengan baik; “Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal-balik,” jelas Norbert.
Akan tetapi hak asasi seseorang tidak dicabut hanya karena dia tidak melakukan kewajiban asasi itu, karena HAM tidak berasal dan tidak diberikan oleh masyarakat melainkan berasal dari manusia itu sendiri yang dijamin pelaksanaannya oleh masyarakat/Negara,” ungkap Norbert.
Dikatakan, kewajiban asasi adalah sebenarnya ungkapan lain bagi penjaminan hak asasi manusia. Kalau saya didiskriminasi dalam mencari pekerjaan karena agama saya maka saya pada prinsipnya dapat mengadu ke pengadilan. Tetapi kalau saya tidak menemukan pekerjan maka saya tidak dapat mengadukan negara di pengadilan. Apalagi kalau pada umumnya pendapatan sebagian masyarakat memang tidak mencukupi.
Padahal suatu hak hukum harus dapat dituntut di hadapan pengadilan.Kesulitan itu menunjukkan bahwa kerangka kita terlalu sempit kalau paham hak asasi, kita batasi pada hak-hak hukum saja. Hak-hak asasi positif dapat kita tampung dalam suatu kerangka yang mengoperasionalkan tuntutan-tuntutan martabat manusia dalam dua bentuk: sebagai hak hukum atau sebagai kewajiban politik. Hak asasi atas pendidikan lantas berarti kewajiban politik negara untuk mengambil semua daya upaya untuk menjamin sarana pendidikan yang memadai bagi segenap anggota masyarakat. Hak itu tidak dapat dituntut secara individual di pengadilan, melainkan merupakan kewajiban politik yang ditagih secara politik juga.
Norbet mengulasnya, bahwa pengertian ini memang memperluas kerangka teoretis paham hak asasi manusia. Positivisasi keyakinan-keyakinan dasar tentang martabat manusia yang diusahakan melalui paham “hak asasi manusia” tak perlu hanya dalam bentuk hak hukum, melainkan boleh juga dalam bentuk kewajiban-kewajiban dasar politik yang pelaksanaannya merupakan tuntutan politis yang tidak ditawar-tawari lagi. Tuntutan itu dalam negara demokratis ditagih melalui suara rakyat dalam pemilihan u-mum, sedangkan dalam negara yang tidak demokratis dijadikan fokus perjuangan untuk men-ciptakan demokrasi.

Perumusan HAM: Masyarakat dan Negara
Katalog HAM yang sudah dirumuskan tidak begitu saja dapat di-ambil oper oleh masyarakat lain. Setiap bangsa harus merumuskan sendiri patokan-patokan dasar kehidupan bersama yang mereka anggap menjamin harkat manusiawinya. Akan tetapi relativitas HAM itu sendiri hanya relatif. Maksudnya, yang relatif adalah bentuk ungkapan, sedangkan apa yang mau diungkapkan justru bersifat mutlak.
Hak-hak asasi dapat dipahami sebagai sarana untuk menjamin ke-utuhan setiap manusia dalam struktur-struktur kemasyarakatan di mana perlindungan-perlindungan tradisional tidak efektif lagi: Kebutuhan akan pengakuan HAM dengan jelas sekali ketika hukum keuntungan ekonomis mau menjadi diktator pola kehidupan bersama manusia. Terhadap keganasan kekuatan-kekuatan ekonomis itu, dan juga kemudian terhadap kecenderungan negara yang semakin totaliter, manusia individual yang secara tradisional dilindungi oleh kesatuan kelompoknya dirasa perlu dilindungi. Dengan kata lain, karena kekuatan-kekuatan dalam masyarakat modern menggilas struktur-struktur sosial lama yang melindu-ngi manusia individual, maka perlindungan itu harus diadakan secara khusus. Itulah HAM.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa meskipun struktur-struktur sosial tradisional di Asia dan Afrika pernah sanggup untuk menjamin manusia dalam martabatnya tanpa adanya sarana hukum seperti HAM, namun semakin struktur-struktur itu digeser oleh yang yang bersifat “modern”, maka semakin pula manusia Asia dan Afrika tidak terlindung lagi. Dalam kebanyakan negara Asia dan Afrika tahun 80-an sudah menjadi terang bahwa penyangkalan terhadap hak-hak asasi secara objektif bergandengan dengan pelbagai bentuk penindasan dan penghisapan. Argumen yang mengata-kan bahwa paham hak asasi manusia itu tidak sesuai dengan kebudayaan nasional adalah berbau munafik dan self serving: di satu pihak masyarakat dikontrol dengan ketat dengan tujuan pembangunan suatu ekonomi “modern”, di lain pihak sarana normatif yang justru dikembangkan untuk menjamin manusia terhadap kekuatan-kekuatan itu ditolak.
Hak-hak asasi dapat saja dikembangkan dan berubah, tetapi hanya “ke depan”. Itu artinya, bahwa perumusannya dapat diperbaiki, dipertajam, diimbangi oleh hak-hak lain, tetapi intinya, apa yang dimaksud tidak dapat dihapus kembali. Dan karena masyarakat tidak akan berkembang kembali ke arah masyarakat tra-disional, maka juga tak mungkin muncul kembali suatu situasi di mana penjaminan terhadap hak-hak asasi manusia tidak dibutuhkan. Maka hak-hak asasi manusia yang pernah diakui boleh saja diperbaiki dan diperlengkapi, tetapi intinya tidak dapat dihapus lagi.
Dosen Filsafat UNIKA Kupang ini mengatakan, sejarah perkem-bangan HAM dapat diperoleh melalui dokumen-dokumen kla-sik HAM. Dokumen-dokumen ini memberikan gambaran perkem-bangan HAM. Mulai dari Magna Charta Libertatum (1215): Melarang penahanan, penghukuman, dan perampasan barang dengan sewenang-wenang; Habeas Corpus (1679): Sebuah dokumen keberadaban hukum, yang menetapkan bahwa orang yang ditahan harus dihadapkan dalam tiga hari ke depan hakim dan diberitahu atas tuduhan apa; Bill of Rights (1689): Mengakui hak-hak parlemen sehingga Inggris menjadi negara pertama di dunia yang memiliki konstitusi dalam arti modern. Perkembangan ini dipengaruhi oleh John Locke (1632-1704) yang mengemukakan bahwa semua orang diciptakan sama dan memiliki hak-hak kodrati (natural rights) yang tidak bisa dilepaskan (inali-enable), di antaranya: hak atas hidup, hak atas kebebasan dan hak milik, tetapi juga hak untuk mengusahakan kebahagiaan.
Setelah periode ini, dokumen Bill of Rights of Virginia (1776): daftar hak-hak asasi manusia agak lengkap yang pertama, hampir secara harafiah mengumandangkan John Locke di Amerika dan Declaration des droits des homes et des citoyen (Revolusi Perancis 1789): Pernyataan ini kemudian menjadi pedoman bagi banyak katalog HAM. Di da-lamnya dibedakan antara hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia, yang dibawanya ke dalam masyarakat, dan hak-hak yang diperoleh manusia sebagai warga masyarakat. Disebutkan bahwa semua orang lahir dengan bebas dan sama haknya. Juga disebutkan hak atas kebebasan, hak milik, hak atas keamanan, hak atas perlawanan terhadap penindasan. Sebagai warga negara orang berhak untuk ikut dalam pembuatan Undang-Undang.
Selama abad 19 burjuasi liberal memperjuangkan negara konstitusional dan pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia melawan pemerintah yang feodal dan absolutistik. Kaum buruh lalu mendukung perjuangan kaum borjuis itu untuk memperjuangkan hak mereka sebagai pekerja, dan lahirlah hak-hak asasi sosial. Berbeda dengan pemikiran HAM abad 20, penindasan semakin dilakukan oleh negara sendiri terhadap masyarakatnya sendiri. Pernyataan hak-hak asasi sedunia yang pertama, yang diterima Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 tidak hanya memuat hak-hak asasi yang diperjuangkan oleh liberalisme dan sosialisme, melainkan juga mencerminkan pengalaman penindasan oleh rejim fasis dan nasiona-lisosialis tahun 20-40-an. Sementara itu bangsa-bangsa yang dijajah mempergunakan paham hak asasi, terutama “hak untuk menentukan diri sendiri” sebagai senjata ampuh untuk melegitimasikan perjuangan mereka untuk mencapai kemerdekaan.

Generasi HAM
Norbert dalam penjelasan lanjutan mengatakan, deklarasi HAM PBB 1948 merupakan generasi pertama. Dikatakan, persoalan universalitas dan partikularitas HAM sudah muncul di dalam diskusi prersiapan deklarasi PBB tentang HAM yang dipimpin oleh ketuanya Ny. Eleanore Roosevelt (1884-1962), yang akhirnya dicetuskan pada tanggal 10 Desember 1948 di Paris. Karena pengalaman kekuasaan teror dan kekerasan tidak manusiawi selama Perang Dunia II yang meng-hantui, maka dalam Charta Pembentukan PBB pada tanggal 24 Oktober 1945 disebutkan misi PBB, yakni untuk menjadi lembaga yang memperhatikan dan melindungi hukum yang melindungi nasib manusia. PBB menetapkan sebagai kewajibannya untuk menumbuhkan dan memperkuat penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia bagi semua manusia tanpa perbedaan ras, jenis kelamin, bahasa dan agama. Kemanusiaan menjadi sebuah pengertian yang sangat penting dan mendasar, karena pengalaman bahwa berbagai atribut yang ditambahkan kepadanya ternyata dapat menjadi alasan penghancuran manusia oleh manusia, ungkap Robert.
Dikatakan, dalam diskusi yang lebih mendetail tentang HAM dalam Komisi HAM yang mempersiapkan deklarasi PBB ada ketegangan antara negara-negara Blok Timur yang lebih menekankan hak sosial dengan negara-negara Blok Barat yang telah memberikan perhatian hak-hak pribadi dan hak-hak politik warga. Ketegangan itu mencerminkan perbedaan ideologi: di satu pihak ideologi kapitalisme yang memperjuangkan hak-hak individu dan pembebasan seja-uh mungkin dari kontrol ketat negara; di pihak lain ada ideologi sosialisme/komunisme yang mengutamakan hak-hak sosial. Karena itu Uni Soviet dan negara bonekanya memilih abstain saat pemutusan pemakluman Dekla-rasi PBB pada tahun 1948 itu, wa-laupun deklarasi itu sendiri sudah mencantumkan kewajiban dan ikatan individu manusia pada kelompok sosial ketika mengatakan (Art. 29):
“Setiap orang mempunyai kewajiban-kewajiban terhadap masyarakat, karena hanya di dalamnya pengembangan kepribadiannya secara penuh dan bebas dimungkinkan”.
Dari 58 negara anggota PBB saat itu, 48 memberikan persetujuannya, sementara 10 lainnya memilih abstain, tidak ada yang menolak. Mereka yang abstain: Uni Soviet, Arab Suadi, Jugos-lavia, Ukraina, Rusia Putih, Polandia, Cekoslowakia dan Afrika Selatan.
Generasi ke dua adalah dua pakta HAM 1966. Dijelaskan, tahun 1966 dibuat dua persetujuan PBB, pertama persetujuan internasional tentang hak-hak ekonomis, sosial dan kultural, kedua persetujuan internasional tentang hak-hak sipil dan politik. Kedua pakta ini berbeda dengan piagam PBB tahun 1948, karena kedua pakta itu menjabarkan HAM secara mendetail dalam aspek individual dengan hak pribadi dan politik dan dalam aspek sosial dengan hak ekonomi dan kultural. Kedua pakta ini memberikan pendasaran ikatan hukum pelaksanaan HAM, yang mulai berlaku pada tahun 1976.
Pendeklarasian pada tahun 1948 memang merupakan sebuah momen penting, terutama karena persitiwa ini adalah sebuah peristiwa yang langka terjadi, di mana peme-rintah negara-negara dunia bersamasama mendeklarasikan sebuah Charta yang mem punyai konsekuensi atas penyelenggaraan kekuasaannya. Tetapi peristiwa ini lebih merupakan ungkapan tekad moral bangsa-bangsa tersebut. Pendasaran hukum dengan kekuatan yang lebih mengikat baru terwujud dalam deklarasi tahun 1966. Ber-sama Deklarasi HAM PBB ke-dua pakta ini membentuk se-buah lembaga International Bill of Rights.
Sementara itu, generasi ketiga terjadi Kongres HAM PBB di Wina 1993. Pada kongres internasional kedua tentang HAM yang diselenggarakan oleh PBB di Wina pada tahun 1993, delegasi Cina menuntut agar setiap negara diberikan hak untuk mendefinisikan dan mengatur pelaksanaan HAM sesuai dengan kondisi di dalam negaranya, karena negara-negara Asia misalnya memliki pemahaman akan HAM yang khas. Selain itu tuntutan ini didasar-kan pada prioritas yang mesti diberikan di Asia terhadap hak kelompok sosial daripada kepada individu. Yang sangat ditekankan oleh negara-negara Asia adalah pentingnya pembangunan yang mesti mendahului perhatian terhadap HAM dan kedaulatan setiap negara yang tidak membenarkan adanya campur tangan dari pihak luar, juga dalam soal pelaksanaan HAM.
Di Asia menurut Rober, deklarasi HAM tahun 1983. “Dalam tahun 70-an perjuangan demi hak-hak asasi manusia semakin terarah pada apa yang sering disebut sebagai repressive deve-lopmentalist regimes, rejim-rejim sebagaimana banyak muncul di negara-negara berkembang yang menindas kebebasan politik, sosial dan ekonomi masyarakat demi suatu pembangunan ekonomis yang hasilnya terutama dinikmati oleh golongan elite. Contoh daftar hak asasi yang memperhatikan konstelasi politis sekarang adalah Declaration of the Basic Duties of ASEAN Peoples and Governments yang disepakati oleh sidang umum pertama Regio-nal Council on Human Rights in Asia pada 9 Desember 1983,” ungkap Robert.
Pada bagian lain, narasumber Dr. Karolus Kopong Medan, SH, M. Hum dalam kesempatan yang sama mengatakan, hubungan antara demokrasi dan HAM merupakan kesatuan yang tidak dipisahkan. Menurutnya, demokrasi tidak akan berjalan dengan baik andaikata hak-hak setiap orang; baik sebagai individu maupun kolektif tidak mendapat perhatian serius; HAM adalah salah satu hak dasar manusia yang juga mesti menda-patkan perlindungan dalam setiap kegiatan demokrasi. Pelanggaran terhadap nilai-nilai demokrasi akan berdampak pada pengingkaran terhadap HAM.
Menurut Karolus, prinsip HAM menjadi perangkat dan dasar bagi hubungan Negara yang demokratis, khususnya relasi antara Negara dan rakyat. Prinsip HAM dapat menjadi kaidah yang mengatur tata hubungan antar Negara, menjadi dasar proteksi bagi masyara-kat dalam kehidupan bernegara; dan menjadi indikator utama bagi Negara dalam memperlakukan rakyatnya
Terkait dengan penegakan Karolus mengatakan, komponen utama penegakan HAM adalah Negara. Negara sebagai institusi yang paling bertanggungjawab dalam me-lindungi, mengatur, mengelola dan menegakan HAM.
Dijelaskan, HAM perlu mendapat perhatian melalui hukum karena HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia. Oleh karena itu, HAM harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh di-abaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.
Hukum lanjutnya, merupakan salah satu sarana yang ampuh untuk mencegah dan menanggulangi pelanggaran HAM, selain memiliki daya paksa untuk memaksa siapapun untuk mempertanggunjwabkan perbuatannya tanpa memandang bulu. Hipol/kopong/Alex murin

Hak Asasi dan Kewajiban Asasi

Hak Asasi dan Kewajiban Asasi

Untuk menghindari pemahaman dan pelaksanaan keliru hak asasi itu karena muncul istilah yang bersesuaian dengan itu ialah kewajiban asasi. Supaya tidak dipahami bahwa hak asasi itu hanya bisa dituntut kalau sesorang juga sudah memenuhi kewajiban asasinya, jadi semacam ada syaratnya. Padahal HAM itu bersifat absolut, artinya tanpa syarat apapun, karena hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia karena ia manusia. Kalau begitu, dalam arti apa kewajiban asasi dibicarakan bersamaan dengan hak asasi.Demikian diungkapkan, Dr. phil. Norbertus Jegalus, MA, pada kegiatan kelas sekolah demokrasi lembata Mei 2009 baru lalu.

Menurutnya, kalau UU No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia menetapkan dalam Bab IV, pasal 67 – 70, tentang kewajiban dasar manusia, maka penetapan itu bukanlah syarat bagi penjaminan HAM seseorang. Penetapan itu hanyalah pedoman bagi masyarakat agar pelaksanaan HAM bisa berjalan dengan baik: “Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal-balik”. Akan tetapi hak asasi seseorang tidak dicabut hanya karena dia tidak melakukan kewajiban asasi itu, karena HAM tidak berasal dan tidak diberikan oleh masyarakat melainkan berasal dari manusia itu sendiri yang dijamin pelaksanaannya oleh masyarakat/negara.

Dosen Filsafat UNIKA Kupang ini mengatakan, kewajiban asasi adalah sebenarnya ungkapan lain bagi penjaminan hak asasi manusia: Kalau saya didiskriminasi dalam mencari pekerjaan karena agama saya, maka saya pada prinsipnya dapat mengadu ke pengadilan. Tetapi kalau saya tidak menemukan pekerjan, maka saya tidak dapat mengadukan negara di pengadilan. Apalagi kalau pada umumnya pendapatan sebagian masyarakat memang tidak mencukupi. Padahal suatu hak hukum harus dapat dituntut di hadapan pengadilan.

Kesulitan itu menunjukkan bahwa kerangka kita terlalu sempit kalau paham “hak asasi” kita batasi pada hak-hak hukum saja. Hak-hak asasi positif dapat kita tampung dalam suatu kerangka yang mengoperasionalkan tuntutan-tuntutan martabat manusia dalam dua bentuk: sebagai hak hukum atau sebagai kewajiban politik. Hak asasi atas pendidikan lantas berarti kewajiban politik negara untuk mengambil semua daya upaya untuk menjamin sarana pendidikan yang memadai bagi segenap anggota masyarakat. Hak itu tidak dapat dituntut secara individual di pengadilan, melainkan merupakan kewajiban politik yang ditagih secara politik juga.

Pengertian ini memang memperluas kerangka teoretis paham hak asasi manusia. Positivisasi keyakinan-keyakinan dasar tentang martabat manusia yang diusahakan melalui paham „hak asasi manusia” tak perlu hanya dalam bentuk hak hukum, melainkan boleh juga dalam bentuk kewajiban-kewajiban dasar politik yang pelaksanaannya merupakan tuntutan politis yang tidak ditawar-tawari lagi. Tuntutan itu dalam negara demokratis ditagih melalui suara rakyat dalam pemilihan umum, sedangkan dalam negara yang tidak demokratis dijadikan fokus perjuangan untuk menciptakan demokrasi. Hipol/Alex murin

DUHAM dan DUHAMIS

Dr. Philp. Norbet Jegalus, MA mengatakan, sebelum dimaklumkan Deklarasi Universal Hak-Hak Asai Manusia (DUHAM) pada tanggal 10 Desember 1948, Arab Suadi, Siria, Irak, Pakistan dan Afghanistan mengajukan keberatan mereka atas beberapa hak, khususnya atas Artikel 18 yang menjamin pindah agama. Dunia Islam menganggap hak-hak yang dimamklumkan itu sebagai produk sekularisme dan liberalisme Barat. Sebagai perlawanan atas DUHAM itu Dewan Islam Eropa memaklumkan Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia Islam (DUHAMIS) pada tanggal 19 September 1981.
Dijelaskan, Gagasan HAM Barat dalam DUHAM PBB itu tidak pernah mempersoalkan gambaran manusia. HAM yang dimaklumkan itu berlaku untuk setiap manusia tanpa kecuali dan sahih untuk setiap lingkungan kebudanyaan tanpa mengindahkan berbagai gambaran manusia di dalam kebudayaan yang berbeda-beda. Pertanyaan kita lalu adalah apakah “hak-hak asasi manusia tanpa gambaran manusia” ini sungguh-sungguh bebas dari gambaran manusia?
Jika kita mencermati lebih seksama, kita akan menemukan bahwa dalam gagasan HAM Barat tercermin suatu gambaran manusia tertentu. Di sana tergambar manusia sebagai individu yang bebas, setara dan menentukan diri. Jadi, di belakang konsep manusia “universal” ini tersembunyi sebagai gambaran konkret tentang manusia Eropa dan Amerika Utara yang terbentuk lewat sekularisasi dan individualisasi. Dari individu inilah diasalkan kelompok (instiusi budaya, agama, negara). Individu tersebut memperoleh isi kenyataannya bukan dengan identifikasi dengan kelompok, melainkan justru sebaliknya dengan mengambil jarak dari kelompok. Hanya melalui pembedaan inilah individu meraih identitas dan maknanya. Konsep individu yang abstrak ini memungkinkan pemikiran tentang kebebasan dan kesamaan martabat manusia karena identitas manusia memperoleh maknanya yang paling khas tidak dari suatu kehendak asing yang berada di luar dirinya, seperti dari negara atau agama, melainkan dari penentuan diri oleh dirinya sendiri.
“Sebagai antitesis gagasan HAM Barat pembukaan DUHAMIS menetapkann tiga pokok yang sangat penting untuk memahami gagasan HAM Islam: (1) Klaim bahwa Islam sebelum abad ke 14, jadi sudah jauh sebelum gagasan HAM Barat, sudah mendasarkan „hak-hak asasi manusia”. (2) Perintah misioner bahwa kaum Muslim memiliki kewajiban untuk menyebarkan dakwah kepada semua manusia dan membebaskan mereka melalui Islam. Islam juga seperti Barat, mengklaim universalitas nilai-nilainya. (3) Tujuan penerimaan HAM Islam adalah untuk membentuk “masyarakat Islam sejati,” jelas Norbert. hipol/kopong

Lamban Penegakan HAM Dalam Negri

Sampai dengan saat ini, perbedaan pandangan tentang HAM terutama negara-negara yang memunculkan HAM masih terus terjadi. Banyak masyarakat yang memandang HAM merupakan produk negara-negara barat yang kerapkali digunakan sebagai strategi menekan negara-negara dubia ketiga untuk mengikuti garis kebijakan internasional negara mereka. Bahkan dari pandangan ini, HAM tidak bisa disamakan di negara-negara lain terutama negara-negara Asia dan Afrika termasuk Indonesia karena perbedaan nilai-nilai budaya termasuk agama.

Bila ditelisik, lahirnya HAM internasional karena peristiwa-peristiwa ekonomi politik yang terjadi di belahan benua Eropa dan Amerika pada abad XVI-XIX. Peristiwa-peristiwa yang melatari itu, diantaranya; perbudakan, diskriminasi dan pengekangan atas aktivitas politik dan ekonomi. Hal yang sama, juga terjadi dinegara-negara Asia dan Afrika termasuk Indonesia yang mungkin hanya perbedaan saman. Selain itu, konsep HAM yang absolut ada pada semua manusia tanpa kecuali. Hak-hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta (hak-hak yang bersifat kodrati). Oleh karenanya tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian bukan berarti dengan hak-haknya itu dapat berbuat semau-maunya.

Indonesia sebagai anggota PBB, ketika deklarasi HAM yang dicetuskan di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948, Indonesia di nilai Mantan Ketua PMKRI Pusat, Reza Primahendra sebagai salah satu negara yang paling berkomitmen di tingkat Internasional. Berikut Petikan wawanacara di Lewoleba-Lembata belum lama ini

Pandangan Anda tentang komitmen Indonesia terhadap HAM?

Komitmen tingkat internasional, Indonesia adalah sebuah negara yang sangat maju termasuk satu negara yang paling cepat meratifikasi berbagai konvensi HAM. Jumlah yang diratifikasi oleh Indonesia adalah lebih banyak dari negara-negara campium demokrasi, seperti; Negara Amerika Serikat. Jadi sebagai komitmen internasional, Indonesia sangat maju.

Komitemen dalam negri?

Tetapi komitmen nasional tentang penegakan HAM masalah lain lagi karena ada kepentingan politik, kepentingan penguasa masuk ke dalam proses penegakan HAM. Dikatakan, meskipun kita (Indonesia) sudah meratifikasi berbagai konvensi tetapi kalau melihat peraturan pelaksanaan yang dituntut untuk menjadikan berbagai konvensi yang sudah diratifikasikan, itu termasuk lambat. Karena kemudian yang dilihat, apakah peraturan pelaksanaan yang dibuat ini dalam pelaksanaan akan menjerat saya sebagai penguasa atau tidak. Kalau ini saya rasakan (sebagai penguasa—red), ini akan menjerat saya, maka cenderung akan memperlemah proses penegakan HAM ini.

Jadi kita menghadapi situasi yang agak kontradiktif. Sebagai sebuah negera yang sangat berkomitmen terhadap kesepakatan-kesepakatan internasional tentang HAM, tetapi dalam pelaksanaannya ada muatan kepentingan politik --muatan kepentingan penguasa yang sangat domininan.

Kenapa begitu?

Memang disayangkan civil society --masyarakat madani di Indonesia, ini belum cukup terdidik. Karena yang memahami HAM baru lapis tertentu khususnya kaum terdidik, akademisi, aktifis LSM, tetapi belum menjadi sebuah kesadaran publik. Ini kemudian membuat banyak tindakan penguasa yang tidak konsekuen terhadap kesepakatan internasional masih bisa dilaksanakan tanpa ada reaksi kuat atau perlawanan kuat dari masyarakat. Ini berbeda dengan negara-negara Eropa.

Bisa berikan contoh?

Contoh, jangankan pelanggaran HAM, berlaku tidak pantas seperti yang terjadi di Parlemen Inggris bahwa mereka mengeluarkan biaya-biaya yang tidak sepantasnya, masyarakat, media sudah bergerak semua. Tapi kita Indonesia, orang di bunuh, orang disiksa, ini belum bergerak. Ini membutuhkan akumulasi seperti kejadian pada waktu reformasi, perlawanan terhadap Soeharto setelah terjadi akumulasi sekian tahun, sekian ratus bahkan mungkin sekian ribu korban baru terjadi pergerakan. Yang harus kita berikan catatan adalah di Indonesia itu tidak menghilangkan adanya penguasa. Yang terjadi adalah pergantian penguasa. Jadi kepentingan penguasa tetap ada. Hanya orangnya berbeda tetapi kepentingannya tetap sama. Bagaimana mereka melanggengkan kekuasaannya dan bagaimana mereka melindungi kekuasaannya dalam tanda petik memboikot –melumpuhkan penegakan HAM. Jadi ini yang harus digarisbawahi.

Bagaimana dengan perkembangan HAM?

Kalau kita bicara HAM dalam prespektif yang lebih luas, karena HAM saya melihat ada tiga generasi HAM. Generasi pertama, adalah hak-hak sipil dan hak-hak politik. Ini yang banyak dikomentasi oleh negara berkembang sebagai HAM-nya Negara barat. Generasi kedua, adalah hak ekonomi sosial budaya. Ini sebetulnya dilakukan apresiasi, akomodasi terhadap negara-negara berkembang dimana masyarakatnya tidak individualis tapi komunal. Disni sudah diwarnai termasuk ekonomi sosial budaya. Generasi ketiga, kita berbicara hak-hak termasuk hak lingkungan dan sebagainya.

Terkait dengan penguasa, mana yang lebih mungkin ditegakan?

Yang terjadi masalah bagi penguasa, biasanya bukan hak ekonomi sosial budaya karena dirasakan sebagai tanggungjawab bersama, tidak hanya pemerintah tetapi aktor-aktor lain. Tetapi yang biasanya menggangu penguasa adalah hak-hak sipil dan politik. Walaupun sebetulnya terkait karena begitu masyarakat bisa mendapatkan hak-hak sipil hak politik ini akan berimbas pada ekonomi sosial budaya.

Bagimana peran Indonesia di mata Negara-negara internasional?

Di dalam diplomasi internasional, Indonesia itu salah satu negara yang sering sekali menjadi inisiator dan pemimpin di negara-negara berkembang --- Negara-negara dunia ketiga. Di dalam isu HAM, Indonesia menunjukan sebagai anak baik yang mau menunjukan kepemimpinan yang secepatnya meratifikasi. Kemudian terkait dengan gensi sebagai sebuah bangsa, walaupun komitmen internasional ini tidak dibarengi dengan komitmen dalam negeri.

Alasan kurang berkomitmen dalam negri?

Terkait dengan komitmen dalam negari sebtulnya ada dua perkara yang ditemukan; yang pertama, warga negara kenapa menuntut kepada negara. Karena warga negara telah menyerahkan sebagian haknya kepada negara agar negara bisa mengatur kehidupan bersama. Atas dasar itulah kemudian warga negara kemudian memiliki legitimasi untuk menuntut negara, bagaimana pengunaan hak yang telah diserahkan oleh warga negara. Misalnya, melalui mekanisme demokrasi. Problemnya adalah ketika negara yang sudah menerima hak sebagai warga negara, misalnya karena sudah melalui pemilihan umum ada sekelompok orang menjadi penguasa. Kemudian dia menjadikan dirinya imun (kebal) dalam praktek hukumnya dia tidak bisa diproses. Pada hal, warga negara merasa bahwa anda itu menjadi penguasa karena saya mempercayakan anda dan karena saya telah menyerahkan sebagian hak saya. Pentingnya demokrasi disini adalah untuk menjamin apabila terjadi kejadian seperti itu maka warga negara bisa menarik kembali haknya dan menunjuk orang lain menjadi penguasa. Dua hal yang harus jelas dan juga menunjukan kaitan antara hak asasi manusia dan mekanisme politik dalam hal ini demokrasi.

Bagaimana definisi HAM berat dan ringan?

Saya rasa jelas bahwa di Indonesia perbedaan antara pelanggaran HAM berat dan pelanggaran HAM ringan itu juga harus secara jelas dirumuskan karena di Indonesia pernah mengalami periode dimana pelanggaran HAM berat itu terjadi bukan hanya sekali. Oleh karena itu, sudah sangat jelas Indonesia harus punya definisi yang jelas dan tegas mengenai pelanggaran HAM berat.

Kalau pelanggaran HAM ringan memang kita berada pada tengah proses antara proses adaptasi atau penyesuain dan nilai-nilai universal yang baru di bawa oleh hAM dengan mekanisme hukum dan set up dari sistem peradilan --dari pengadilan kita yang masih dalam warisan kolonial. Sebenarnya, bagaimana pembangunan sektor hukum kita di Indonesia dengan pemahaman-pemahaman baru mengenai nilai-nilai keadilan dan kemanusian dnegan seting hukum yang pada peninggalan kolonial. Dan jelas pada pelanggaran HAM berat yang jelasnya belum ada peraturan hukum yang jelas.

Bagaimana strategi penularan HAM kepada seluruh masyarakat?

Pertama, adanya penguasa karena ada yang dikuasi. Dan kedua, kalau kita bicara mengenai bagaimana penegakan HAM di sebuah negara maka pada dasarnya ada tiga pendekatan, yakni top down dan button up dan kombinasi keduanya. Pendekatan top down bisa dilakukan dengan munculnya pemimpin-pemimpin sebuah negara yang mereka memang memiliki agenda penegakan HAM dan kemudian secara progresif mengembangkan sebuah sistem hukum dan kebijakan yang konsisten dengan konvensi-konvensi HAM yang telah diratifikasi. Kita harus mengandalkan sebuah rezim baru yang punya komitmen melakukan perubahkan --sebuah perubahan sistim hukum maupun kebijakan-kebijkan.

Button up adalah proses dimana melakukan pendidikan HAM kepada warga masyarakat, melakukan pengarusutamaan HAM kepada dikalangan berbagai organisasi-organisasi sipil yang ada sehingga HAM menjadi sebuah kesadaran publik untuk bisa bersama-sama melakukan tindakan kolektif untuk menuntut penegakan HAM. Kombinasi ada sebagian unsur dalam pemerintahan yang berkomtmen bergabung dengan warga masyarakat yang menuntut penegakan HAM. Indonesia mau mengambil jalan yang mana. Rasa-rasanya jalur yang pertama agak sulit. Karena penguasa yang baru di Indonesia itu tidak bisa menarik garis yang jelas dan tegas dengan yang lalu. Selalu ada unsur keterkaitan antara penguasa yang sekarang dengan yang lalu. Jadi kelihatannya sulit.

Terus?

Pendekatan yang berikut adalah sangat menantang karena Indonesia begitu luas --dengan masyarakat begitu beragam. Sehingga membutuhkan upaya yang luar biasa oleh masyarakat sipil untuk melakukan pendidikan. Sehingga yang tersisa adalah alternative ketiga. Adanya koalisasi antara sebagian elemen dalam pemerintahan yang berkomitmen bergabung dengan masyarakat sipil. Dan ini menjadi kekuatan yang mendesakan penegakan HAM. Problemnya adalah sebagian penguasa mau menegakan HAM, sementara sebagian lain penguasa justru melakukan pelanggaran HAM. Jadi proses penegakan kejahatan kemanusiaan melalui kebijakan politik.

Menurut Anda, peran yang harus dilakukan organisasi social seperti LSM untuk penegakan HAM?

Saya menyebutnya dengan EMAR, yakni:

Edukasi, melakukan pendidikan kepada warga masyarakat

Mobilasasi, sehingga publiki bisa melakukan tindakan kolektif

Advokasi, mendampingi warga masyarakat

Rekonsiliasi, melakukan rekonsiliasi.

Jadi kalaupun telah terjadi pelanggaran HAM berat dan telah ditemukan siapa pelanggarnya dan telah diakui maka pada titik tertentu harus ada rekonsiliasi. Tidak bisa sebuah bangsa itu memandam kebencian satu sama lain selamanya. Pelanggaran HAM seperti di Afrika Selatan itu hanya direkonsiliasi oleh nelson Mandela. Nelson Mandela sebagai korban, maaf dia sampai di paksa minum air kencingnya dan di suruh makan dari kotorannya bahkan dia kehilangan masa mudanya karena hamper tiga dasawarsa dia diperjara --- dia masuk umur 20-an dan keluar penjara umur 60-an dan dia bisa memeluk orang yang memenjarakan dia dan dia mengatakan saya memaafkan anda. Ketika ini menjadi ikon di nasional Afrika selatan –kemudian menjadi model rekonsiliasi.

Upaya aktifis melalui pintu politik?

Jadi ini isu yang menurut saya sangat strategis karena kita sebagai bangsa harus mengakui masih menyimpan luka-luka bathin akibat kejahatan HAM berat pada masa lalu yang belum diselesaikan sampai sekarang. Kemudian kalau kita berbicara peran dari aktifis sosial pada saat ini harus diakui bahwa ada satu pemikiran romantis dari para pegiat sosial kita tidak bisa melakukan perubahan signifikan tanpa melalui perubahan politik, tanpa melalui kekuatan politik. Sehingga kita saksikan bersama bahwa pemilihan legislatif yang lalu begitu banyak aktifis social masuk ke dalam pertarungan politik. Akan tetapi dalam konteks penegakan HAM ini merugikan. Karena kemudian masyarakat tidak memiliki pemimpin. Begitu seseorang masuk ke dalam politik dia tidak bisa lagi diterima lagi katakan nelayan. Karena ketika dia masuk, parpol-parpol lain juga masuk. Jadi wakil dari nelayan untuk menyuarakan suara nelayan tanpa ada kepentingan partai menjadi tidak ada. Ini merugikan gerakan sosial. Karena itu, itu yang harus dilakukan adalah kaderisasi sosial. Kita harus mendorong pemimpin-pemimpin gerakan sosial baru. Dan kalau kita mau cepat bisa dari aktivis mahasiswa atau akademisi. Kalau mau agak lama, dimulai dari kelompok-kelompok yang termarginalisasi itu; nelayan, petani.

Budaya di Indonesia, menurut Anda menjamin HAM bisa ditegakan?

Satu hal yang perlu kita pahami adalah budaya yang dominan dimasyarakat Indonesia adalah budaya malu bukan budaya salah. Jadi budaya malu itu, saya boleh melakukan sesuatu yang salah sepanjang itu tidak diketahui umum dan tidak memalukan saya boleh teruskan. Jadi yang penting apakah itu memalukan atau tidak. Jadi bukan sisinya salah atau benar. Jadi walaupun salah tetapi tidak diketaui public saya akan lakukan teruis. Sementara kalau budaya salah, orang membedakan ini benar atau salah. Kalau ini salah, meskipun tidak diketahui orang saya tidak akan melakukan.saya hanya melakukan yang benar. Kita melihat di televise, Koran bahwa tindakan-tindakan yang salah; orang ditahankan karena melakukan yang salah, itu bisa senyum-senyum –menjadi selebritis baru. Ini juga yang akhirnya soela2 tidak ada sesuatu yang salah. Orang melakukan korupsi miliaran tetapi diberikan sarana dan parasana –menjadi orang yang saleh. Setelah itu mendapatkan pengampunan dan kembali ke masyarakat seola-ola tidak ada apa-apanya.

Apa sebab?

Ini merupakan efek demosntrasi yang menunjukan negara kita berbudaya malu bukan budaya salah. Ini problem yangg harus diatasi semua pihak. Kita juga melihat bahwa si tertindas menyerap jiwa si tertindas dalam jiwanya. Sehinggba pada gilirannya dia menjadi penindas berikutnya. Kita tahun 1997, apakah kita menggantikan orangnya baru? Orangnya baru tetapi prilakuknya sama. Karena politisi-politisi baru—penguasa-penguasa baru itu menyerap jiwa penindas itu. Dan dia akan menjadi penindas berikutnya. Ini menjelaskan justru setelah desentralisasi, kualiutas dan kuantitas pelayanan public turun. Tingkat kerusakan hutan, 6 kali lebih cepat setelah desentralisasi. Tingkat korupsi jauh lebih tinggi setelah desentralisasi. Kalau dulu ada satu korupotor besar tapi satu di Jakarta, tetao sekarang koruptor kecil tetapi banyak di daerah-daerah. Sehingga hasil akhirnya, korupsi jauh lebih besar. Ini kalau mengugunkanan penedekatan amaerika latin, menggunakan pendekatan pendidikan yang membebaskan untuk membombar penindasan ini. hipol

Jumat, 12 Juni 2009

Politik Uang Merusak Martabat Manusia.

“Banyak caleg yang mem-bagibagi uang kepada ma-syarakat. per kepala Rp. 25.000 hingga 200-san ribu. Selain uang, dalam bentuk barang, seperti semen, be-ras untuk desa dan rumah-rumah ibadat,” ungkap Rafael rabu Nihan di kediamannya Wangatoa ( 21/3).
Menurut Rafael, kasus-ka-sus pelangaran pemilu (money politic) sudah dilaporkan ke Panwas Kabupaten tetapi tidak ditindaklanjuti kepolisian.
“Kasus money politic yang dilakukan oleh anggota KPPS TPS 2 Desa Bunga Muda yang adalah tim sukses caleg Tresia Abon Manuk dari PDI-P yang membagi uang kepada Tresia Terima sebanyak Rp. 200.000 dan kepada Yohanita Nimanuho, Rp. 20.000,” jelas Nihan.
Pengamat Politik Dr. Philp. Norbert Jegalus ditemui di Hotel Lewoleba, kamis (22/3) mengatakan, politik uang dalam pesta demokrasi adalah dosa berat karena melanggar martabat manusia karena dampaknya secara luas dan merusak nurani manusia. Jika dalam pemilu yang meru-pakan pesta rakyat para peserta pemilu, yakni caleg yang melakukan politik uang dapat dikategorikan sebagai tindakan pelanggaran berat. Norma agama, sebagaimana dikatakatan Benny Susetyo, Pr, tindakan seperti itu dikategorikan sebagai dosa berat. Demiki-an dikatakan, Dosen Fakultas Filsafat UNIKA Kupang ini mengatakan, dalam etika politik, seseorang melaku-kan pemberian pada saat pemilu, dia sedang merusak harkat dan martabat yang menerima. Pemberi dengan se-ngaja memberi bukan ka-rena keiklasan dan ke-lebihannya tetapi untuk kepentingan supaya dia dipilih. Ini yang merusak martabat penerima atau masyarakat. Sikap yang demikian, menandakan orang tersebut maju menjadi caleg bukan menjadi wakil rakyat dan memperjuangkan kepentingan pu-blic tetapi dewan dijadikan sebagai tempat mencari nafkah.
Bahayanya lanjut Norbert, jika politik uang dilakukan oleh banyak caleg maka anggota dewannya adalah kumpulan pencari nafkah bukan wakil rakyat yang memperjuangkan kepen-tingan public.
Secara terpisah, Wilson M.A.Terik mengatakan, jika masyarakat diberi uang atau beras dan atau jenis lainnya dalam masa kampanye, diterima saja oleh masyarakat tetapi Wilson mengajak untuk tidak memilih caleg yang melakukan perusakan moral dengan melakukan politik uang.
Dikatakan, jika awal saja sebelum menjadi anggota dewan sudah melakukan hal-hal yang kotor maka prilaku kotor akan terus terjadi kelak sudah menjadi anggota dewan. Karena itu, masyarakat dihimbau untuk memilih secara cerdas dan sesuai hati bukan karena menerima pemberian dari caleg dan harus memilih caleg dimaksud.
Sementara itu, Ketua Panwaslu Kabupeten Lembata, Petrus Payong mengungkapkan banyak caleg yang melakukan politik uang dalam masa kampanye. Panwaslu sudah menemukan beberapa kasus dan sedang dalam proses pelaporan.
Diakuinya, beberapa caleg mengibuli stafnya dilapangan. Sebelumnya staf panwaslu sudah mengantongi informasi tentang ada caleg yang hendak melakukan politik uang dalam bentuk material pada sore hari. Tetapi rupanya mereka mengetahui ada panwaslu yang sedang memantau sehingga mereka melakukan-nya pada jam 12 malam.
Pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh caleg atau partai tertentu jika proses hukum membuktikan, maka caleg atau parpol tersebut bisa dicoret keikutsertanya dalam pemilu kali ini. Karena itu, masyarakat diminta untuk terlibat memantau dan melaporkan ke Panwas Kabupeten Lembata.

Peristiwa Penting Abad XX Adalah Demokrasi

Bertempat di aula Hotel Lewoleba Sekolah Demokrasi (SD) Lembata kelas II membahas materi Konsepsi Demokrasi. Modul konsepsi ditulis Dr. Daniel Sparinga dan Dr. Ignas Kleden. Pertemuan yang dihadiri 28 peserta itu berlangsung dari tanggal 18 sampai 20 Maret 2009. Dua narasumber, yakni; Dr. Phil Norbertus Jegalus, MA dan Wil-son M.A. Therik, S.E,M.Si selama tiga hari menyampaikan materi.
Norbert panggilan akrab Dr. Phil Norbertus Jegalus, MA mengatakan, peristiwa penting di abad 20 ini adalah demokrasi mengu-tip pikiran peraih nobel ekonomi Amartya Sen. Pada hal jika dicermati, masih banyak peristi-wa penting lain dunia, seperti; berakhirnya penjajahan (Inggris, Perancis dan Belanda), Perang Dunia Kedua yang menghancurkan sebagian besar manusia dan peradaban du-nia; Perlombaan senjata antara Blok Timur dan Barat (perang dingin); dan runtuhnya komu-nisme di Blok Timur. Bagi Sen tetap demokrasi masih yang paling penting dari semua itu.
Dijelaskan, alasan dibutuhkannya demokrasi karena demokrasi dapat memperkaya kehidupan seorang individu karena memberinya kebebasan dan menjamin bahwa kebebasan itu dapat dinikmati tanpa terlalu terhalang. Jaminan itu misal-nya diakuinya hak-hak politik dan hak-hak sipil individu; demokrasi dapat menolong rejim yang memerintah untuk lebih cepat tanggap terhadap keluhan, tuntutan dan kebutuhan rakyat; dan demokrasi mendorong lahirnya masyarakat terbuka dengan ciri-ciri seperti: dialog, diskusi, perdebatan, pertukaran, persaingan.
Dosen Filsafat Politik Unwira Kupang ini menjelaskan fungsi-fungsi demokrasi, yakni;
pertama, fungsi intrinsik demokrasi: membantu pertumbuhan seorang individu. Demokrasilah yang memungkinkan negara mengatur jaminan hukum dan politik agar seseorang bisa bertumbuh matang dan wajar. Tanpa dukungan kebebasan seseorang tidak mendapat kematangan dan kewajaran dalam pertumbuhan dirinya sebagai manusia yang normal. Itulah sebabnya di negara demokratis kebebasan individual dijamin oleh negara. Pelanggaran terha-dap kebebasan ini adalah pe-langgaran HAM. Jadi, demokrasi berhubungan dengan nilai intrinsik perkembangan diri manusia.
Kedua, fungsi instrumental demokrasi: karena demokrasi adalah juga sarana bagi suatu pemerintah untuk mendapat legitimasinya, dan hanya rakyat yang bisa melegitimasi kekuasaan pemerintahan. Dalam kaitan dengan ini, Sen berbicara tentang kelaparan. Jadi ada hubungan antara demokrasi dan kelaparan: Kelaparan tidak di-sebabkan oleh kekurangan makanan tetapi oleh kekurangan demokrasi. Karena dalam masyarakat yang demokratis dimungkinkan rakyat melalui parpol atau parlemen menekan pemerintah untuk memberikan perhatian terhadap gejala kelaparan yang muncul. Dalam masyarakat yang tidak demokratis pemerintah tidak dipaksa untuk tanggap terhadap fenomen kelaparan atau fakta kelaparan itu.
Contoh: (1) Kasus kelaparan di China tahun 1958-1961 yang menyebabkan kematian 30 juta penduduk China. Padahal eko-nomi China saat itu relative baik, tetapi karena pemerintahan totaliter maka tidak ada ruang bagi suara rakyat. (2) Kasus kelaparan di India. Selama India berada di bawah Inggris, selama itu kasus kelaparan sebagai bagian dari kehidupan India. Tetapi begitu India merdeka, jadi demokrasi ada, maka sejak itu kelaparan tidak terjadi lagi.
Tiga, fungsi konstruktif demokrasi: karena suatu masyarakat demokratis memberi kesempatan kepada warganya untuk menguji nilai-nilai budaya yang dianut oleh berbagai kelompok melalui interaksi terbuka; juga adanya kesempatan untuk melibatkan semua pihak dalam membicarakan program politik semua pihak melalui diskusi dan debat. Bahkan dalam bidang ekonomi demokrasi memungkinkan pengujian kembali pelbagai kebutuhan melalui kritik.
Selain itu, demokrasi memberikan dampak terhadap, indi-vidu, ia (demokrasi—red) adalah suatu sarana untuk system pendidikan; terhadap pemerintah, ia (demokrasi—red) memberi kontrol; dan terhadap masyarakat ia (demokrasi—red) mendorong pembentukan system nilai budaya secara terbuka tanpa ada dominasi satu kelompok budaya.

Multikulturalisme
Memperbincangkan istilah multikulturalisme bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Disatu sisi sebagai sebuah das Sein tetapi sekaligus sebuah das Sollen disisi lainnya. Sebagai das Se-in berarti kita berbicara tentang fakta adanya pelbagai kebudayaan dalam masyarakat. Kita menyaksikan atau mengalami kamejmukan cara hidup. Kenyataan atau praktek kehidupan sosial itu merupakan hasil interaksi di antara pelbagai elemen sosial yang akhirnya menghasilkan sebuah kehidupan sosial atau lebih tepatnya sebuah kesadaran sosial ber-sama. Das Sollen berarti kita berbicara tentang sifat normatif dari kemajemukan budaya itu, bahwa fakta itu tidak sekadar menampilkan dirinya sebagai yang ada tetapi sekaligus me-ngajarkan sesuatu kepada masyarakat majemuk itu, ungkap Norbert.
Supaya fakta itu tetap berlang-sung demikian maka setiap komponen dari kemajemukan itu perlu menyadari adanya sebagai bagian dari yang lain. Itu berarti, yang berhak untuk tetap eksis bukan hanya dirinya sendiri melainkan juga yang lain. Karena itu, adalah tidak pada tempatnya kalau satu komponen budaya dalam masyarakat berusaha mempertahankan eksistensinya de-ngan cara menggeser atau melenyapkan yang lain.
Dijelaskan, multikulturalisme hidup dalam masyarakat maka ia hidup seturut perkembangan masyarakat itu juga. Pada umumnya multikulturalisme itu adalah hasil dari sebuah proses sosial. Sejarah ikut membentuk kehadirannya. Sejarah membentuk kesadaran komponen masyarakat akan kemajemukan budaya. Kalau sekarang kita menikmati kemajemukan budaya itu tanpa konflik, maka itu adalah hasil proses pembentukan kesadaran bersama dari pelbagai komponen masyarakat. Jadi, multikul-turalisme bukan sebuah fakta yang dilahirkan atau ditetapkan begitu saja.
Di Barat khusus Amerika dan Australia mengalami proses sejarah itu dengan banyak pe-ngalaman pahit dan kelam. Pengalaman negatif itu mereka berhasil tiba pada suatu model multikulturalisme berwajah manusiawi, sebagaimana terungkap dalam kesadaran akan HAM. Di Barat sejarah masyarakat itu berujung pada lahirnya kesadaran multikulturalisme dan demokrasi sekaligus. Ini suatu yang luar biasa dalam masyarakat Barat. Misalnya di Amerika: Multikuralisme adalah jawaban akan terjaminnya asas freedom of expresion, bahwa setiap orang berhak untuk mengeks-presikan apa saja meski apa yang dieks-presikan itu berbeda dan bah-kan bertentangan dengan “yang lain”. Kebebasan berekspresi adalah tanda adanya kesada-ran msyarakat akan nilai-nilai multikulturalisme. Seandainya tidak ada kesadaran akan mul-tikulturalisme, mustahil orang bisa sebebasnya mengung-kapkan apa yang merupakan nilai kebudayaannya.
Dijelaskan, di negara-negara bekas jajahan umumnya multikulturalisme adalah sebuah ga-gasan yang diperjuangkan. Mengapa? Karena pertamatama negara-negara bekas jajahan itu membangun kesadaran na-sionalisme. Umumnya hal ini dilakukan oleh para pendiri ne-gara itu. Para pendiri memba-ngun kesadaran bersama akan satu bangsa karena selama dijajah mereka dipisah-pisahkan menurut kelompok etnik demi kepentingan penjajah. Jadi semangat nasionalisme harus dibangun dulu, baru kemudian multikulturalisme. Jadi, nasionalisme itulah yang memungkinkan lahirnya kesadaran akan sebuah multikulturalisme.
Sementara itu, Wilson M.A. Therik, S.E.M.Si dalam menyampaikan materi kepada peserta mengatakan, Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut. Masalah pokok yang dihadapi Indonesia ialah bagaimana dalam masyarakat yang beranekaragam pola budayanya, mempertinggi tingkat kehidupan ekonomi disamping mem-bina kehidupan sosial dan politik yang demokratis. Menurutnya, periodesasi demokrasi yang berkembang di Indonesia, adalah; pertama, masa Republik Indonesia I (1945-1959), yaitu masa demokrasi (konstitusional) yang menonjolkan peranan parlemen sertai parpol dan karena itu dapat dinamakan demokrasi parlementer. Kedua, masa Republik Indone-sia II (1959-1965), yaitu masa demokrasi terpimpin, yang dalam banyak aspek telah me-nyimpang dari demokrasi kon-stitusional. Ketiga, masa Re-publik Indonesia III (1965-1998), yaitu masa demokrasi pancasi-la (Orba) yang merupakan de-mokrasi konstitusional yang menunjukkan sistem presiden-sial.
Keempat, masa Republik Indonesia IV (1998-Sekarang), yaitu masa demokrasi reforma-si yang menginginkan tegak-nya demokrasi di Indonesia se-bagai koreksi terhadap praktik-praktik politik yang terjadi pada sebelumnya.
sebagai sebuah das Sein tetapi sekaligus sebuah das Sollen disisi lainnya. Sebagai das Sein berarti kita berbicara tentang fakta adanya pelbagai kebudayaan dalam masyarakat. Kita menyaksikan atau mengalami kamejmukan cara hidup. Kenyataan atau praktek kehidupan sosial itu merupakan hasil interaksi di antara pelbagai elemen sosial yang akhirnya menghasilkan sebuah kehidupan sosial atau lebih tepatnya sebuah kesadaran sosial bersama. Das Sollen berarti kita berbicara tentang sifat normatif dari kemajemukan budaya itu, bahwa fakta itu tidak sekadar menampilkan dirinya sebagai yang ada tetapi sekaligus mengajarkan sesuatu kepada masyarakat majemuk itu, ungkap Norbert.
Supaya fakta itu tetap berlang-sung demikian maka setiap komponen dari kemajemukan itu perlu menyadari adanya se-bagai bagian dari yang lain. Itu berarti, yang berhak untuk tetap eksis bukan hanya dirinya sendiri melainkan juga yang lain. Karena itu, adalah tidak pada tempatnya kalau satu komponen budaya dalam masyarakat berusaha mempertahankan eksistensinya de-ngan cara menggeser atau me-lenyapkan yang lain.
Dijelaskan, multikulturalisme hidup dalam masyarakat maka ia hidup seturut perkembangan masyarakat itu juga. Pada umumnya multikulturalisme itu adalah hasil dari sebuah proses sosial. Sejarah ikut membentuk kehadirannya. Sejarah membentuk kesadaran kompo-nen masyarakat akan kemajemukan budaya. Kalau sekarang kita menikmati kemajemukan budaya itu tanpa kon-flik, maka itu adalah hasil pro-ses pembentukan kesadaran bersama dari pelbagai komponen masyarakat. Jadi, multikulturalisme bukan sebuah fakta yang dilahirkan atau ditetapkan begitu saja.
Di Barat khusus Amerika dan Australia mengalami proses sejarah itu dengan banyak pe-ngalaman pahit dan kelam. Pengalaman negatif itu mereka berhasil tiba pada suatu model multikulturalisme berwajah manusiawi, sebagaimana ter-ungkap dalam kesadaran akan HAM. Di Barat sejarah masyarakat itu berujung pada lahirnya kesadaran multikulturalisme dan demokrasi sekaligus. Ini suatu yang luar biasa dalam masyarakat Barat. Misalnya di Amerika: Multikuralisme adalah jawaban akan terjaminnya asas freedom of expresion, bahwa setiap orang berhak untuk mengekspresikan apa saja meski apa yang diekspresikan itu berbeda dan bah-kan bertentangan dengan “yang lain”. Kebebasan berekspresi adalah tanda adanya kesada-ran msyarakat akan nilai-nilai multikulturalisme. Seandainya tidak ada kesadaran akan multikulturalisme, mustahil orang bisa sebebasnya mengungkapkan apa yang merupakan nilai kebudayaannya.
Dijelaskan, di negara-negara bekas jajahan umumnya multikulturalisme adalah sebuah ga-gasan yang diperjuangkan. Mengapa? Karena pertama-tama negara-negara bekas jajahan itu membangun kesadaran nasionalisme. Umumnya hal ini dilakukan oleh para pendiri negara itu. Para pendiri membangun kesadaran bersama akan satu bangsa karena selama dijajah mereka dipisah-pisahkan menurut kelompok etnik demi kepentingan penjajah. Jadi semangat nasionalisme harus dibangun dulu, baru kemudian multikulturalisme. Jadi, nasionalisme itulah yang me-mungkinkan lahirnya kesadaran akan sebuah multikulturalisme.
Sementara itu, Wilson M.A. Therik, S.E.M.Si dalam menyampaikan materi kepada peserta mengatakan, Perkem-bangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut. Masalah pokok yang dihadapi Indonesia ialah bagaimana da-lam masyarakat yang beranekaragam pola budayanya, mempertinggi tingkat kehidupan ekonomi disamping membina kehidupan sosial dan politik yang demokratis. Menurutnya, periodesasi demokrasi yang berkembang di Indonesia, adalah; pertama, masa Republik Indonesia I (1945-1959), yaitu masa demokrasi (konstitusional) yang menonjolkan peranan parlemen sertai parpol dan karena itu dapat dinamakan demokrasi parlementer. Kedua, masa Republik Indonesia II (1959-1965), yaitu masa demokrasi terpimpin, yang dalam banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi kon-stitusional. Ketiga, masa Republik Indonesia III (1965-1998), yaitu masa demokrasi pancasila (Orba) yang merupakan demokrasi konstitusional yang menunjukkan sistem presidensial.
Keempat, masa Republik Indonesia IV (1998-Sekarang), yaitu masa demokrasi reformasi yang menginginkan tegak-nya demokrasi di Indonesia se-bagai koreksi terhadap praktik-praktik politik yang terjadi pada sebelumnya.
Dijelaskan, pada masa orde baru dimulai peranan presiden sangat besar. Secara lambat laun tercipta pemusatan kekuasaan di tangan presiden. Presiden Soeharto telah menjelma seba-gai seorang tokoh yang paling dominan dalam sistem politik Indonesia, tidak saja karena ja-batannya sebagai presiden da-lam sistem presidensial, tetapi juga karena pengaruhnya yang dominan dalam elit politik Indo-nesia. Keberhasilan memimpin penumpasan G 30 S/PKI dan kemudian membubarkan PKI dengan menggunakan Supersemar yang controversial, memberikan peluang yang besar kepada Jend. Soeharto untuk tampil sebagai tokoh yang paling berpengaruh di Indonesia.
Kestabilan politik, pembangunan nasional dan integrasi na-sional menjadi isu sentral yang membenarkan pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan politik, termasuk yang bertentangan dengan demokrasi. Pemerintah identik dengan Golkar. Contoh, monoloyalitas PNS. Semua PNS wajib memilih Golkar dalam setiap Pemilu dan Golkar selalu menang setiap kali pelaksanaan pemilu. Orde baru lanjut Wilson, KKN meraja lela. Keberhasilan ekonomi sebagai peluang untuk melakukan KKN oleh para ang-gota keluarga dan kroni penguasa, baik di pusat mau-pun di daerah.
Di bidang politik, pemerintahan Soeharto telah membuat presiden menjadi mutlak karena tidak ada satu institusi/lembaga yang dapat menjadi pengawas presiden dan mencegahnya melakukan penyelewangan kekuasaan.

"Civil Society" dan Demokrasi, untuk Apa?

Masalah Civil socity baru hangat dibicarakan tahun 1990-an di Indonesia. Hal ini lebih disebabkan oleh kuatnya tekanan pemerintah Orde Baru pada tatanan kehidupan ma-syarakat Indonesia. Para ahli ilmu sosial, tokoh intelektual, pejuang demokrasi, dan cen-dekiawan, tampaknya kesuli-tan mencari formula yang tepat untuk memaknai suatu perju-angan menuju perubahan yang dicita-citakan. Dalam ke-adaan galau dan gamang itu bangsa Indonesia berpaling pada civil society yang dijadi-kan primadona untuk memper-baiki tatanan kehidupan ma-syarakat kita yang nyaris lumpuh.
Civil society bergulir dengan pemaknaan yang variatif oleh berbagai kalangan. Ada yang menerjemahkan sebagai ma-syarakat sipil, masyarakat kewargaan, masyarakat ma-dani, dan ada juga yang tetap menggunakan civil society. Semua terjemahan tersebut di-suguhkan kepada publik dengan argumentasi masing-masing, dan karenanya ma-syarakat atau publik juga me-mahaminya menurut selera dan kepentingannya.
Civil society sebenarnya meru-pakan suatu ide yang terus di-perjuangkan manifestasinya agar pada akhirnya terbentuk suatu masyarakat bermoral, masyarakat sadar hukum, masyarakat beradab atau ter-bentuknya suatu tatanan sosial yang baik, teratur dan progresif.
Kata civil cenderung dikono-tasikan sebagai lawan dari militer. Demikian pula madani dalam masyarakat madani cenderung dikonotasikan dengan madaniyah atau Me-dina, yang dikonotasikan ber-nuansa Arab. Padahal arti ma-daniyah sebagai sumber munculnya kata madani adalah peradaban atau civilization.
Lain lagi dengan kewargaan yang merupakan terjemahan dari bahasa latin yakni, civilis atau civis. Atas pijakan yang demikian itulah kebanyakan orang sepakat untuk konsis-ten menggunakan civil society karena terjemahan yang lain dianggap kurang sesuai de-ngan konsep aslinya.

Substansi
Cicero adalah seorang filsuf Romawi yang pertama me-munculkan gagasan societies civils dalam sejarah filsafat politik. Civil society merupa-kan suatu konsep yang dina-mis, yang selalu mengalami perubahan makna.
Misalnya, pada abad 18 civil society dimaknai sebagai ne-gara yang merupakan entitas yang mendominasi entitas lainnya. Di akhir abad ke 18 civil society dimaknai sebagai negara dalam nuansa dua entitas yang berbeda, seiring dengan aliran Hegelian yang membagi kehidupan manusia dalam tiga wilayah yang ber-beda, yakni, keluarga, civil so-ciety, dan negara.
Dalam pandangan Hegel, civil society adalah entitas yang memiliki ketergantungan pada negara. Sebagai misal negara harus mengawasi civil society dengan cara menyediakan pe-rangkat hukum dan adminis-trasi. Hegel berpendapat en-titas civil society mempunyai kecenderungan entropi atau melemahkan diri sendiri (a self crippling entity), oleh karena itu harus diawasi oleh negara.
Pandangan Hegel yang agak pesimistik ini, akhirnya me-miliki gayut dengan panda-ngan Karl Marx tentang civil society. Bahkan Karl Marx memposisikan civil society pada basic material dalam tautan dengan produksi ka-pitalis. Oleh Marx, civil society dimaknai sebagai kelas borjuis yang menjadi tanta-ngan baginya untuk membe-baskan masyarakat dari ber-bagai penindasan, oleh kare-na itu civil society menurut dia harus dilenyapkan demi ter-wujudnya masyarakat tanpa kelas.
Tokoh lain adalah Gramsci. Dalam banyak hal pendapat Gramsci mirip pendapat Marx. Perbedaannya terletak pada memposisikan civil society bu-kan pada basic material tetapi pada tataran supra-struktur, sebagai wadah kom-petisi untuk memperebutkan hegemoni kekuasaan. Peran civil society pada konteks yang demikian oleh Gramsci ditem-patkan sebagai kekuatan peng-imbang di luar kekuatan negara. Pandangan Gramsci ini lebih bernuansa ideologis ketimbang pragmatik. Dalam perjalanan waktu, akhirnya konsep Grams-ci ini dikembangkan oleh Haber-mas seorang tokoh madzab Frankfurt melalui konsep the free public sphere atau ruang pu-blik yang bebas, di mana rakyat sebagai citizen memiliki akses atas setiap kegiatan publik.
Sebagai misal, rakyat boleh omong apa saja, berbuat apa saja baik secara lisan maupun tertulis, melalui media massa, sekolah atau pertemuan-perte-muan asal tidak melanggar hu-kum atau mengganggu ke-pentingan umum. Pandangan Habermas ini, tampaknya se-dang berlangsung di Indonesia saat ini. Cuma yang jadi soal, kita baru berada pada tataran proses belajar, setelah sekian lama kebebasan kita dibelenggu oleh penguasa. Sikap egalitarian bangsa ini telah terkoyak-koyak oleh perjuangan mempe-rebutkan atribut-atribut semu yang dikendalikan oleh invisible hand. Jiwa dari the free public sphere sebenarnya telah ter-akomodasi dalam UUD 1945 Pasal 28. Namun, karena kuat-nya political will penguasa spirit dari gagasan Habermas ini me-mudar nyaris punah.

Konsep Yang Diinginkan
Kalau saja kita mau jujur, mak-na civil society yang kita idam-kan (walau sebagian) adalah konsep civil society menurut Habermas. Kita telah lama me-mimpikan ruang pu-blik yang bebas tempat mengekspre-sikan keinginan kita atau untuk meredusir, meminimalisir ber-bagai intervensi, sikap totaliter, sikap etatisme pemerintah. Pada ruang publik inilah kita memiliki kesetaraan sebagai aset untuk melakukan berba-gai transaksi wacana tanpa harus takut diciduk, diintimi-dasi atau ditekan oleh pengua-sa. Model ini sudah lama tetapi sekaligus merupakan format baru bagi kita untuk merefor-masi paradigma kekuasaan yang telah dipuntir oleh pe-nguasa Orde Baru.
The free public sphere merupa-kan inspirator, motivator seka-ligus basis bagi mekanis-me demokrasi modern, seperti ya-ng dialami oleh Amerika, bang-sa Eropa dan kawasan dunia lain. Demokrasi modern seca-ra substantif mengacu pada kebebasan, kesetaraan, ke-mandirian, kewarganegaraan, regularisme, desentralisme, aktivisme, dan konstitusio-nalisme. Persoalannya bagai-mana cara yang efektif agar spirit demokrasi modern ini bisa disemaikan dengan baik?
Jawabannya, adalah kita mesti membangun dan mengem-bangkan institusi seperti LSM, organisasi sosial, organisasi agama, kelompok kepenting-an, partai politik yang berada di luar kekuasaan negara, ter-masuk Komnas HAM dan Ombudsman yang dibentuk oleh pemerintah. Hal ini tidak serta merta menghilangkan keterhubungannya dengan negara atau bersifat otonom. Berbagai undang-undang, hukum dan peraturan negara tetap menjadi pijakan bagi se-tiap institusi dalam melakukan aktivitasnya. Hal terpenting dalam civil society adalah kesetaraan yang bertumpu pada kedewasaan untuk saling menerima perbedaan. Tanpa itu, civil society hanya merupa-kan slogan kosong.

Hubungan Dengan Demokrasi
Civil Society dan demokrasi ibarat "the two side at the same coin". Artinya jika civil society kuat maka demokrasi akan bertumbuh dan berkem-bang dengan baik. Sebaliknya jika demokrasi bertumbuh dan berkembang dengan baik, civil society akan bertumbuh dan berkembang dengan baik. Itu pula sebabnya para pakar mengatakan civil society merupakan rumah tempat bersemayam-nya demokrasi.
Menguatnya civil society saat ini sebenarnya merupakan strategi yang paling ampuh bagi berkembangnya demokrasi, untuk mencegah hegemoni kekuasaan yang melumpuhkan daya tampil individu dan masya-rakat. Dalam praktiknya banyak kita jumpai, individu, kelompok masyarakat, elite politik, elite penguasa yang berbicara atau berbuat atas nama demokrasi, walau secara esensial justru sebaliknya.
Kesadaran masyarakat akan demokrasi bisa dibeli dengan uang. Kelompok masyarakat tertentu diatur untuk bertikai demi demokrasi. Perseteruan eksekutif dan legislatif saat ini sebenarnya tidak kondusif bagi pemulihan ekonomi kita, tetapi hal itu tetap dilakukan demi demokrasi. Kalau rakyat kecil selalu jadi korban, apakah makna demokrasi yang kita perjuangkan sudah betul? Atau sedang mengalami distorsi.