Rabu, 25 Juni 2008

Bupati Simon Hayon Tolak Ajakan Dewan

Bupati Flores Timur Simon Hayon menolak ajakan DPRD setempat untuk hadir dalam forum dialog dengan Forum Dewan Pastoral Paroki Se-Kota Larantuka. Dia beralasan, tidak ada hal luar biasa yang perlu diklarifikasikan kepada forum umat Katolik, terkait sejumlah pernyataannya yang dinilai controversial selama ini.

Dalam surat jawabannya ke DPRD yang tembusannya juga dikirim kepada 4 Ketua DPP, Bupati Simon Hayon juga menilai bahwa dalam hal iman, umat tidak berwewenang untuk menilai apa yang disampaikannya itu merupakan ajaran sesat atau tidak.

Ketidakhadiran Bupati Simon Hayon pada kesempatan itu memang sudah diprediksi sebelumnya oleh Forum. Walau demikian tidak ada reaksi berlebihan. Setelah menyampaikan beberapa pokok piran, Forum kemudian meninggalkan gedung Bale Gelekat Lewotana menuju Kathedral Larantuka. Setelah berdiskusi sebentar, seluruh peserta unjuk rasa kemudian membubarkan diri.

Tokoh Umat, Philipus Riberu usai ke Dewan menyatakan penyesalannya terhadap sikap Bupati Simon Hayon yang menolak hadir untuk mengklarifikasi langsung pernyataan-pernyataannya. Sikap seperti ini menurut Philipus Riberu memperlihatkan adanya keangkuhan pada diri Simon Hayon. “Mungkin karena dia sudah menyatakan dirinya sebagai penguasa bumi.”

Walau demikian, baik Philipus Riberu maupun Ketua DPP Kathedral Larantuka Paulus da Costa masih menaruh harapan pada lembaga DPRD untuk bisa menggunakan hak-hak politik mereka untuk menghadirkan Bupati Simon Hayon.

Sebelumnya, H.M. Syahril Gunawan dari PPP dihadapan Forum mengaku, lembaga kesulitan menemukan dasar bagi mereka untuk menghadirkan Bupati Simon Hayon. Mekanisme yang berlaku di lembaga itu menurut Syahril Gunawan sama sekali tidak memungkinkan Bupati hadir dan berdialog dalam forum di DPRD. “Terus terang, kami sangat kesulitan.”

Salah kaprah

Menanggapi penilai Bupati Simon Hayon sebagaimana surat jawabannya kepada DPRD tentang ketidakhadirannya memenuhi panggilan dewan, Forum melalui pokok-pokok pikirannya antara lain menjelaskan bahwa, dalam hal citarasa iman (sensus fidei), perasaan iman merupakan milik segenap umat, ’dari para uskup hingga para awam beriman yang terkecil’. Iman itu sudah hidup di dalam umat, baik dalam pengertian, pemahaman maupun penerapannya di dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Forum menilai, dewan para Uskup dan Paus adalah badan hierarki dalam Gereja yang mempunyai kompetensi ataukah wewenang mengajar (Magisterium) di dalam hal iman dan susila (moral). Magisterium, dalam hal ini Dewan para Uskup bersama pemimpinnya Paus adalah badan dan orang yang satu-satunya berhak menafsirkan dan menyuruh mewartakan dengan resmi ajaran-ajaran iman di dalam Gereja Katolik.

”Jadi, Bupati Simon Hayon tidak boleh salah kaprah. Iman itu sudah hidup di dalam citarasa umat beriman sekalian dan sudah ditradisikan dari masa ke masa kebenaran yang sama. Beliau, meskipun seorang Katolik, tidak di dalam kewibawaan menafsirkan dengan resmi, apalagi dengan sesukanya, hal yang berhubungan dengan keagamaan di dalam disiplin Gereja Katolik,” tulis Forum itu sebagaimana yang dibacakan korlapnya Bartolomeus Payong.

Menjawab pertanyaan NTT Online soal sikap forum itu ke depan pasca ketidakhadiran Bupati Simon Hayon, Bartholomeus Payong mengatakan bahwa kehadiran mereka kali ini dalam rangka memenuhi undangan Dewan untuk mengklarifikasi salah satu tuntutan yang disampaikan forum pada aksi sebelumnya.

”Karena hari ini bupati tidak hadir maka nanti kita akan kembali lagi, sesuai dengan tuntutan kita sebelumnya. Soal waktunya nanti akan dibicarakan kemudian dalam rapat forum.”

Tidak pantas

Dalam aksi damai pada Selasa 17 Juni 2008 lalu, forum merumuskan sejumlah hasil kajian mereka atas berbagai pernyataan, sikap dan tindakan Bupati Simon Hayon yang dinilai menyesatkan, provokatif, menebar kebencian dan tidak ilmiah itu.

Menurut forum, Bupati Simon Hayon telah mengartikan secara salah kata Bupati sebagai “Penguasa Bumi” Pernyataan itu menurut forum merupakan penyimpangan terhadap makna kata “bupati” sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan telah menempatkan dirinya sebagai penguasa atas bumi dan isinya. Dan sikap ini menurut forum harus segera dicegah agar tidak berkembang lebih jauh.

Forum juga menilai, penilaian Bupati Simon Hayon tentang Pakualam, Pakubuwono, dan Pakubumi menurut forum menunjukan arogansi kekuasaan dan “penghinaan” terhadap kepemimpinan dan gelar kebangsawanan dalam tradisi kraton di kesultanan Yogya. Hal ini dapat menimbulkan permusuhan antaretnis dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Bupati Simon Hayon juga dinilai menebarkan ajaran yang menyesatkan terkait pemberian pengertian baru atas kata “Nusantara” yang disebutnya berasal dari kata “Nuh” yang artinya “Nabi Nuh”, kata “San” berarti “dan” atau “dengan”, atau “sekaligus” dan kata “Tara” (istri dari Nabi Nuh). Menurut Bupati Simon Hayon, “definisi selama ini karang dan tanpa dasar (bukan nusa dan antara)”.

Forum menilai, sikap dan pernyataan seperti ini tidak saja melecehkan dan menistai ajaran agama Kristiani dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, tetapi juga merupakan upayanya untuk mengubah doktrin bangsa Indonesia mengenai Wawasan Nusantara.

Sebagai seorang pemimpin publik, Forum itu juga menyesalkan sikap Bupati Simon Hayon yang telah menebar kebencian dan provokatif terkait pernyataannya tentang nama orang dan suku tertentu. Forum menilai, dengan menggunakan metode irasional dalam menilai karakter seseorang berdasarkan penafsiran nama orang. Orang yang menyandang nama Laga menurutnya adalah orang perusak. Dan orang yang menyandang nama Herin adalah orang pinggiran.

Pernyataannya ini menurut Forum merupakan pernyataan Bupati Simon Hayon yang telah secara terang-terangan menerbar kebencian di muka umum terhadap pribadi yang memiliki nama itu yang ditafsir sebagai sikap yang tidak pantas diperlihatkan seorang pemimpin.

Terkait hal-hal tersebut, Forum melalui pernyataan sikapnya antara lain mengutuk semua pernyataan Bupati Flores Timur, Drs. Simon Hayon sebagaimana tersebut di atas sebagai bentuk penyesatan, penistaan, pembodohan terhadap keyakinan hidup umat beragama di Flores Timur dan keluhuruan adat dan budaya Lamaholot.

Karena itu mereka mendesak Bupati Simon Hayon untuk berhenti menyampaikan pendapat, pandangan, ataupun keyakinan pribadinya yang irasional, menyesatkan, diskriminatif, provokatif di depan umum hingga meresahkan, mengganggu, membodohkan, melecehkan, merusak citra dan martabat umat beragama dan masyarakat berbudaya Lamaholot di daerah ini.

Forum juga mendesak Bupati Simon Hayon untuk segera menyampaikan permohonan maaf kepada segenap umat beragama di wilayah itu melalui media massa dan pada sidang paripurna khusus DPRD Flores Timur. Fortum juga mendesak Bupati Simon Hayon untuk segera mengembalikan citra agama, budaya, dan pemerintahan, yang telah diopinikan/dipraktekkan secara salah.

Selain itu, Forum yang melibatkan ratusan umat itu juga mendesak DPRD Flores Timur untuk mengambil sikap politik atas segala perilaku menyimpang berkaitan dengan fenomena takhyul dan sia-sia dari Bupati Flores Timur, Drs. Simon Hayon, dan menyerukan serta menghimbau kepada segenap umat beragama dan seluruh rakyat di Flores Timur untuk tidak memberikan ruang, waktu, hati dan pikiran untuk dirasuki ajaran sesat sebagaimana yang disampaikan Bupati Simon Hayon atau siapapun. (peren Lamanepa/nttonlinenews)

Sabtu, 07 Juni 2008

Longsor di Kolilanang bukan gejala alam

Tim peneliti Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang- Jawa Timur menyatakan, kejadian tanah longsor di Desa Kolilanang, Kecamatan Adonara-Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur (Flotim), merupakan bencana yang sangat serius mengancam warga di desa itu.
Tim ITN Malang merekomendasikan kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Flotim, agar serius menyikapi bencana tanah longsor yang terjadi (23/2/2008) di Kolilanang karena bencana tanah longsor itu bukan gejala alam biasa sehingga harus diselesaikan menurut adat/mistik. Tetapi, perlu penanganan lebih serius.

Hasil penelitian Tim ITN Malang disampaikan dalam laporan lengkap dengan gambar hasil peninjauan lapangan tanah longsor di Desa Kolilanang, yang diperoleh SPIRIT NTT dari Sekretariat Kantor Bupati Flotim, Sabtu (12/4/2008). Laporan ditandatangani dua peneliti, masing-masing Ir. Setyo Adiwidjono (ahli geolog) dan Ir. Eding Iskak Imananto, MT (ahli geoteknik) dari Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LP2M) ITN Malang.
Dalam laporan dua ahli sekaligus bahan rekomendasi penanggulangan kepada Pemkab Flotim diuraikan bahwa tanah longsor di Kolilanang akibat hujan deras selama dua minggu. Luas lahan pemukiman dan perkebunan yang kena longsor 3,0 hektar dengan panjang retakan satu kilometer, lebar retakan 2,5 meter, kedalaman retakan tiga meter hingga empat meter, dan merusak empat bangunan rumah, satu fondasi rumah dan sejumlah makam/pekuburan. Lahan yang kena longsor sebagian lahan perkebunan dengan tanaman produktif kelapa, kakao (coklat) dan pepohonan karang kitri lainnya, merusak jalan perkerasan desa 150 meter.
Setyo dan Eding menjelaskan, morfologi sekitar daerah longsoran berupa medan berbukit dengan elevasi 449 meter (bacan GPS) di Kantor Desa Kolilanang. Longsoran terjadi di batas Desa Tika Tukan dengan kemiringan lereng 25 derajat berkaitan dengan alur sungai intermitan yang banjir saat terjadi longsoran.
Secara teknis, kata Setyo dan Eding, kedudukan geografis lokasi tanah longsor Kolilanang berada pada formasi kiro berumur miosen dengan litologi terdiri dari lava, breksi aglomerat bersisipan tuva berbatu apung. Klarifikasi tanah longsor di Desa Kolilanang termasuk fenomena longsoran geseran tanah (sliding) berputar (rotational) dikenal sebagai slumping. Proses longsoran berupa gerakan cepat (rapid) tanpa ditandai gejala rayapan (creep). *
Pindahkan empat rumah

TIM ITN Malang usulkan penanggulangan jangka pendek memindahkan empat rumah yang menjadi korban longsoran, dan menghentikan pembangunan rumah di lokasi itu.
Solusi jangka panjang berupa pembuatan teras bangku dan pembuatan pematang batu kosong pada lokasi di lereng gunung, perbaikan wilayah yang belum longsor, bangun cek dam di wilayah Koli Petung. "Kawasan yang menghadap laut perlu tetap waspada terhadap bahaya longsoran," demikian tim.

Terima laporan
Wakil Bupati Flotim, Yoseph Lagadoni Herin, S.Sos dikonfirmasi di ruang kerjanya, Sabtu (12/4/2008), mengaku sudah menerima laporan tim ITN Malang terkait bencana tanah longsor di Desa Kolilanang.
"Laporan berisi hal teknis geologi tentang longsor di Kolilanang yang merupakan sebuah bencana alam tanah longsor. Tim juga beri solusi dan penanggulangan bencana alam tanah longsor ke Pemkab Flotim untuk upaya penanggulangan," kata Herin. (
Martin Lau Nahak, Spirit NTT)

Jumat, 06 Juni 2008

Produksi kakao Adonara menurun

Produksi kakao/coklat di Adonara, Kabupaten Flores Timur (Flotim), tahun ini diperkirakan menurun. Hal ini terjadi karena sejak bulan Juli 2007 hingga Januari 2008, ribuan hektar tanaman kakao pada 12 desa di Kecamatan Adonara Tengah, Pulau Adonara, diserang hama yang belum diketahui namanya.
Camat Adonara Tengah, Donatus Kopong Weran, ketika ditemui di ruang Humas Setkab Flotim, Rabu (2/1/2008), mengatakan, akibat serangan hama ini, produksi tanaman kakao menurun. Bahkan tanaman perkebunan yang menjadi penopang utama ekonomi petani terancam mati.
Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Flotim, jelas Donatus, baru mendeteksi jenis hama ini, dan belum mengetahui nama hama/penyakit tersebut.
Donatus menjelaskan, petani kakao sudah lama mengeluh terkait serangan hama itu. "Serangan penyakit ini mengakibatkan buah kakao yang semula besar menjadi kecil dan warnanya menguning. Daun kakaonya ikut menguning dan perlahan mengering. Ciri ini sudah terjadi pada kakao milik petani di Pulau Adonara, namun lebih banyak terjadi pada petani kakao di 12 desa di Kecamatan Adonara Tengah, bagian dari Kecamatan Adonara Barat," jelas Kopong.
Menurutnya, warga menyebut penyakit busuk akar. Karena warga petani pernah mencari tahu dengan cara menggali akar pohon kakao yang daunnya menguning dan mengering. Saat itu ditemukan akar kakao telah membusuk. "Itu menurut warga petani tapi belum diketahui pasti apa benar penyakit busuk akar atau jenis hama lain. Saya dan camat lainnya di Pulau Adonara sudah menyampaikan hal ini ke Kadishutbun Flotim agar menurunkan tim ke kebun petani kakao untuk melakukan penyelidikan guna memastikan jenis hama atau penyakit yang menyerang kakao petani itu. Sebab, kalau terlambat ditanggulangi, kakao petani di Pulau Adonara bisa habis," tambahnya.
Dia meminta Dishutbun Flotim proaktif menanggulangi hama yang menyerang kakao petani itu. Karena saat ini kualitas kakao di Pulau Adonara mulai menurun akibat serangan hama penyakit itu membuat banyak buah kakao masak/matang sebelum waktunya tapi tetap dipanen petani untuk dijual.
"Saya sudah tugaskan 12 kepala desa di Kecamatan Adonara Tengah untuk mendata semua kakao petani yang terserang hama itu. Selanjutnya data tersebut akan kami laporkan ke Kabupaten Flotim," ujarnya.
Penggerek buah
Terkait serangan hama tanaman kakao tersebut, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Flotim, Rafael Sili, S.H, yang dihubungi SPIRIT NTT di kediamannya, Rabu (2/1/2008) membenarkan telah menerima laporan masyarakat petani dan laporan Camat Adonara Tengah.
"Itu bukan penyakit baru yang menyerang kakao milik petani di 12 desa di Adonara. Petugas dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan sudah turun lapangan menemukan hama penggerek buah kakao. Untuk menanggulanginya, sudah ada obat. Obat ini harus disemprotkan, jika tidak turun hujan beberapa hari. Kalau semprot saat hujan, maka tidak bermanfaat sebab hamanya tidak mati," kata Sili.
Dia mengakui hama penggerek buah kakao lebih aktif pada musim panas/kemarau. Akibatnya pada musim kemarau 2007 lalu banyak kakao milik petani rusak dan mati sehingga mengurangi produksi kakao. *

PENGHASIL KAKAO DI ADONARA TENGAH
Desa Knotan, Desa Lite, Desa Lewopao, Desa Lewo Bele, Desa Koko Tobo, Desa Horowura, Desa Koko Horowura, Desa Wewit, Desa Bidara, Desa Lubalema, Desa Baya, Desa OE Sayang. (martin lau/spirit ntt)

Masa kejayaan kopra dan peran dagang antarpulau

LEMBATA belum lama pisah dari induknya Flores Timur. Ada percepatan pembangunan yang luar biasa di sana, yang menempatkan Lembata sebagai salah satu kabupaten hasil pemekaran yang paling baik melaksanakan otonomi. Apakah langkah itu yang kemudian mengilhami orang Forum Perjuangan Adonara Kabupaten (FPArK) untuk memotori proses percepatan Adonara menjadi kabupaten?

Ketua tim pengkajian Adonara Kabupaten dari Jurusan Ilmu Pemerintah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Cornelis Lay, menyebutkan Adonara saat ini sangat layak jadi kabupaten, semata didasarkannya pada kajian terhadap seluruh dokumen administratif yang mereka terima. Walau begitu Mas Conny (panggilan Cornelis Lay) meluruskan bahwa syarat administratif bukan menjadi soal utama sebagaimana yang diisyaratkan aturan-aturan resmi di negeri ini.

Dari segi ekonomi? Adonara ternyata memiliki pengalaman sejarah perekonomian.
Di bawah panji Koperasi Kopra (Kokop), perekonomian pernah mencapai puncak kejayaannya antara tahun 1953-1974. Pada masa itu peran (Kokop) sangatlah dominan. Selain membangun kekuatan ekonomi melalui pabrik sabun pertama di Sagu, Kokop juga mengutamakan pembangunan sumber daya manusia.

Infrastruktur pendidikan, seperti SMP Rayuan Kelapa di Larantuka, SMP Lembah Kelapa di Kiwangona (Adonara Timur) dan SMP Nyiur Melambai di Ile Boleng. Tingkat SLA, ada SMA Surya Mandala di Waiwerang yang juga tercatat sebagai SLA pertama di bumi Lamaholot, mulai dibangun.

Tidak sebatas itu. Kokop juga mempersiapkan beberapa alumni dari SMA Surya Mandala û Waiwerang untuk belajar di Bali, melalui program beasiswa. Anggota Komisi B DPRD Flores Timur, Bartholomeus Dores adalah salah satu alumni penerima beasiswa Surya Mandala. Semua lembaga pendidikan itu masih bertahan hingga kini, kecuali SMP Rayuan Kelapa di Larantuka.

Sementara dalam bidang ekonomi, Kokop pabrik sabun kemudian bangkrut akibat kalah bersaing dengan produk dari Jawa. Situasi itu menandai awal kebangkrutan Kokop. Walau begitu, bagi sebagain orang yang sangat menaruh perhatian serius terhadap perjalanan Kokop dahulu menyebut sejumlah faktor penyebab bubarnya Kokop, salah satu di antaranya adalah akibat tekanan politik nasional di awal tahun 1974 yang mengarah pada monopoli. Aroma korupsi di tubuh Kokop juga menjadi salah satu faktor lain penyebab bangkrutnya Kokop. Sisa asetnya kemudian dijual untuk menutupi utang-utang yang ada.

Ambrukkah ekonomi Adonara sebagai penopang utama ekonomi Flores Timur? Bubarnya Kokop ternyata menjadi titik awal kebangkitan sistem perdagangan antarpulau, dengan Waiwerang sebagai sentral. Beberapa warga keturunan Tionghoa yang awalnya bermukim di Sagu, perlahan hijrah ke Waiwerang yang praktis lebih memiliki infrastruktur yang lebih baik, antara lain pelabuhan laut yang juga dibangun dari hasil swadaya murni masyarakat.

Dan, harus diakui, warga keturunan Tionghoa yang ada di Adonara ketika itu ikut menjadi motor penggerak utama mesin-mesin ekonomi Adonara, bahkan hingga saat ini. Seluruh hasil bumi dari Adonara dan sekitarnya kemudian dipasarkan ke Surabaya langsung dari pelabuhan Waiwerang (saat ini semua proses bongkar muat barang dipusatkan pelabuhan Terong). Dengan demikian, praktis tidak ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan para pemilik komoditi, yang bisa berpengaruh pada tingkat harga jual barang-barang mereka saat tiba di Surabaya.

Situasi ini membuat tingkat perputaran roda ekonomi di Waiwerang jauh lebih hidup, dibandingkan dengan Larantuka. Bahkan, untuk beberapa jenis barang tertentu hasil produksi dari Pulau Jawa, diperdagangkan di Waiwerang justru dengan tingkat harga yang lebih murah dibandingkan dengan di Larantuka. Ini karena, pedagang Waiwerang memiliki sendiri armada pelayaran samudra yang menjamin mobilitas barang dari dan ke Surabaya melalui Waiwerang praktis lebih lancar. Dengan begitu, komoditi hasil pertanian dan perkebunan milik masyarakat petani di Adonara praktis lebih gampang memasuki pasar di Surabaya.

Situasi seperti itu, ternyata mendorong tingkat produksi kopra di wilayah itu. Ketua Koperasi Unit Desa (KUD) Waiwerang. Firman Duli memastikan tingkat produksi kopra saat ini mencapai 1000 ton/bulan. Jumlah itu katanya jauh lebih tinggi dibanding hasil rata-rata ketika masih dikelola oleh Kokop. "Ini produksi di Adonara Timur saja. Kalau dulu produksinya 350 ton per bulan dari seluruh Flores Timur masih termasuk Lembata."

Firman Duli sendiri belum dapat memastikan penyebab utama terjadinya peningkatan produksi kopra yang demikian meningkat di Adonara saat ini. Tapi salah satu yang disampaikannya adalah pohon kelapa yang ada saat ini di Adonara berusia di atas 30 tahun. Artinya, perlu ada peremajaan tanaman jika masih ingin melihat kopra sebagai komoditi andalan. Namun Ferman Duli kembali bicara bahwa selain kopra, petani di Adonara juga mulai memroduksi kemiri, asam dan coklat ke Surabaya walau dengan tingkat produksi yang relatif masih belum stabil.

Masih diperngaruhi oleh tingkat harga. Konsentrasi kajian bidang ekonomi ini, khususnya perdagangan selain untuk memperoleh gambaran tentang potensi wilayah, juga dalam rangka mendapat gambaran tentang jalur perdagangan serta pengaruhnya dengan daerah-daerah lainnya.

Hal ini dalam rangka membangun kerangka kerja sama yang saling menguntungkan dengan daerah lain yang masuk dalam jalur perdagangan Adonara, manakala jadi dimekarkan menjadi kabupaten.

Semua ini harus diantisipasi sejak awal, sehingga tidak timbul masalah baru di kemudian hari, khususnya yang berkaitan dengan retribusi. Karena, akibat retribusi yang dipungut oleh daerah-daerah yang berada di jalur perdagangan akan ikut mempengaruhi tingkat harga jual suatu barang. Dengan demikian, harapan masyarakat bahwa melalui pembentukan kabupaten baru akan tercipta kesejahteraan serta percepatan pembangunan, mungkin saja tidak akan diperoleh.

Lalu bagaimana perkembangan di bidang kesehatan? Untuk bidang kesehatan, Adonara selama ini sangat mendapat pelayanan dari gereja lokal yang dikembangkan oleh biara para suster yang ada. Sebut saja seperti Rumah Sakit Witihama. Awalnya hanya sebuah poliklinik biasa yang dikelola Suster-Suster dari ordo Carolus Boromeus (CB). Tiga poliklinik lainnya tersebar masing-masing di Kiwangona, Ile Boleng dan di Lite. Juga dikelola para suster.

Romo Deken wilayah Adonara, Romo Lazarus Laga Koten, Pr dalam perbincangannya dengan tim pengkaji di Penginapan Asri menyebutkan bahwa pelayanan kesehatan kepada masyarakat oleh para suster itu sudah berlangsung lama. Hal ini, katanya, merupakan salah satu gambaran nyata tentang keterlibatan agama sebagai salah satu pilar dalam membangun masyarakat. "Kunci sukses dari semua itu adalah peran umat," katanya.

Semua cerita di atas mengantar kita kepada sebuah permenungan kecil untuk menjawab pertanyaan sederhana yang dilontarkan Mas Conny tentang standar apa yang digunakan orang Adonara untuk menilai apakah seseorang dikatakan berhasil atau tidak. Memang jawabannya sangat beragam. Ada yang mengatakan, kalau dulu keberhasilan itu dapat diukur dari seberapa banyak seseorang bisa menanam. Kemudian bergeser ke berapa banyak hasil panenan. Tapi kini jawabannya adalah pada seberapa tinggi pendidikan anak-anak.

Lalu bagaimana dengan keberhasilan pembangunan di kawasan Adonara? Apakah baru akan dapat dikatakan berhasil jika cita-cita pembentukan kabupaten baru di Adonara terjawab? Apakah tingkat kesejahteraan masyarakat di Adonara akan berkembang secara otomatis bersamaan dengan Adonara jadi kabupaten atau justru melahirkan kegelisahan baru?

Cornelis Lay hampir di seluruh diskusi selalu menekankan bahwa kajian yang dilakukan tim ini sama sekali tidak untuk memutuskan apakah Adonara layak atau tidak layak jadi kabupaten. Hasil kajian akademis ini menurutnya merupakan masukan bagi pengembangan pembangunan Flores Timur ke depan, dengan pemekaran atau tanpa pemekaran. (peren lamanepa/ntt online)

Masa kejayaan kopra dan peran dagang antarpulau

LEMBATA belum lama pisah dari induknya Flores Timur. Ada percepatan pembangunan yang luar biasa di sana, yang menempatkan Lembata sebagai salah satu kabupaten hasil pemekaran yang paling baik melaksanakan otonomi. Apakah langkah itu yang kemudian mengilhami orang Forum Perjuangan Adonara Kabupaten (FPArK) untuk memotori proses percepatan Adonara menjadi kabupaten?

Ketua tim pengkajian Adonara Kabupaten dari Jurusan Ilmu Pemerintah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Cornelis Lay, menyebutkan Adonara saat ini sangat layak jadi kabupaten, semata didasarkannya pada kajian terhadap seluruh dokumen administratif yang mereka terima. Walau begitu Mas Conny (panggilan Cornelis Lay) meluruskan bahwa syarat administratif bukan menjadi soal utama sebagaimana yang diisyaratkan aturan-aturan resmi di negeri ini.

Dari segi ekonomi? Adonara ternyata memiliki pengalaman sejarah perekonomian.
Di bawah panji Koperasi Kopra (Kokop), perekonomian pernah mencapai puncak kejayaannya antara tahun 1953-1974. Pada masa itu peran (Kokop) sangatlah dominan. Selain membangun kekuatan ekonomi melalui pabrik sabun pertama di Sagu, Kokop juga mengutamakan pembangunan sumber daya manusia.

Infrastruktur pendidikan, seperti SMP Rayuan Kelapa di Larantuka, SMP Lembah Kelapa di Kiwangona (Adonara Timur) dan SMP Nyiur Melambai di Ile Boleng. Tingkat SLA, ada SMA Surya Mandala di Waiwerang yang juga tercatat sebagai SLA pertama di bumi Lamaholot, mulai dibangun.

Tidak sebatas itu. Kokop juga mempersiapkan beberapa alumni dari SMA Surya Mandala û Waiwerang untuk belajar di Bali, melalui program beasiswa. Anggota Komisi B DPRD Flores Timur, Bartholomeus Dores adalah salah satu alumni penerima beasiswa Surya Mandala. Semua lembaga pendidikan itu masih bertahan hingga kini, kecuali SMP Rayuan Kelapa di Larantuka.

Sementara dalam bidang ekonomi, Kokop pabrik sabun kemudian bangkrut akibat kalah bersaing dengan produk dari Jawa. Situasi itu menandai awal kebangkrutan Kokop. Walau begitu, bagi sebagain orang yang sangat menaruh perhatian serius terhadap perjalanan Kokop dahulu menyebut sejumlah faktor penyebab bubarnya Kokop, salah satu di antaranya adalah akibat tekanan politik nasional di awal tahun 1974 yang mengarah pada monopoli. Aroma korupsi di tubuh Kokop juga menjadi salah satu faktor lain penyebab bangkrutnya Kokop. Sisa asetnya kemudian dijual untuk menutupi utang-utang yang ada.

Ambrukkah ekonomi Adonara sebagai penopang utama ekonomi Flores Timur? Bubarnya Kokop ternyata menjadi titik awal kebangkitan sistem perdagangan antarpulau, dengan Waiwerang sebagai sentral. Beberapa warga keturunan Tionghoa yang awalnya bermukim di Sagu, perlahan hijrah ke Waiwerang yang praktis lebih memiliki infrastruktur yang lebih baik, antara lain pelabuhan laut yang juga dibangun dari hasil swadaya murni masyarakat.

Dan, harus diakui, warga keturunan Tionghoa yang ada di Adonara ketika itu ikut menjadi motor penggerak utama mesin-mesin ekonomi Adonara, bahkan hingga saat ini. Seluruh hasil bumi dari Adonara dan sekitarnya kemudian dipasarkan ke Surabaya langsung dari pelabuhan Waiwerang (saat ini semua proses bongkar muat barang dipusatkan pelabuhan Terong). Dengan demikian, praktis tidak ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan para pemilik komoditi, yang bisa berpengaruh pada tingkat harga jual barang-barang mereka saat tiba di Surabaya.

Situasi ini membuat tingkat perputaran roda ekonomi di Waiwerang jauh lebih hidup, dibandingkan dengan Larantuka. Bahkan, untuk beberapa jenis barang tertentu hasil produksi dari Pulau Jawa, diperdagangkan di Waiwerang justru dengan tingkat harga yang lebih murah dibandingkan dengan di Larantuka. Ini karena, pedagang Waiwerang memiliki sendiri armada pelayaran samudra yang menjamin mobilitas barang dari dan ke Surabaya melalui Waiwerang praktis lebih lancar. Dengan begitu, komoditi hasil pertanian dan perkebunan milik masyarakat petani di Adonara praktis lebih gampang memasuki pasar di Surabaya.

Situasi seperti itu, ternyata mendorong tingkat produksi kopra di wilayah itu. Ketua Koperasi Unit Desa (KUD) Waiwerang. Firman Duli memastikan tingkat produksi kopra saat ini mencapai 1000 ton/bulan. Jumlah itu katanya jauh lebih tinggi dibanding hasil rata-rata ketika masih dikelola oleh Kokop. "Ini produksi di Adonara Timur saja. Kalau dulu produksinya 350 ton per bulan dari seluruh Flores Timur masih termasuk Lembata."

Firman Duli sendiri belum dapat memastikan penyebab utama terjadinya peningkatan produksi kopra yang demikian meningkat di Adonara saat ini. Tapi salah satu yang disampaikannya adalah pohon kelapa yang ada saat ini di Adonara berusia di atas 30 tahun. Artinya, perlu ada peremajaan tanaman jika masih ingin melihat kopra sebagai komoditi andalan. Namun Ferman Duli kembali bicara bahwa selain kopra, petani di Adonara juga mulai memroduksi kemiri, asam dan coklat ke Surabaya walau dengan tingkat produksi yang relatif masih belum stabil.

Masih diperngaruhi oleh tingkat harga. Konsentrasi kajian bidang ekonomi ini, khususnya perdagangan selain untuk memperoleh gambaran tentang potensi wilayah, juga dalam rangka mendapat gambaran tentang jalur perdagangan serta pengaruhnya dengan daerah-daerah lainnya.

Hal ini dalam rangka membangun kerangka kerja sama yang saling menguntungkan dengan daerah lain yang masuk dalam jalur perdagangan Adonara, manakala jadi dimekarkan menjadi kabupaten.

Semua ini harus diantisipasi sejak awal, sehingga tidak timbul masalah baru di kemudian hari, khususnya yang berkaitan dengan retribusi. Karena, akibat retribusi yang dipungut oleh daerah-daerah yang berada di jalur perdagangan akan ikut mempengaruhi tingkat harga jual suatu barang. Dengan demikian, harapan masyarakat bahwa melalui pembentukan kabupaten baru akan tercipta kesejahteraan serta percepatan pembangunan, mungkin saja tidak akan diperoleh.

Lalu bagaimana perkembangan di bidang kesehatan? Untuk bidang kesehatan, Adonara selama ini sangat mendapat pelayanan dari gereja lokal yang dikembangkan oleh biara para suster yang ada. Sebut saja seperti Rumah Sakit Witihama. Awalnya hanya sebuah poliklinik biasa yang dikelola Suster-Suster dari ordo Carolus Boromeus (CB). Tiga poliklinik lainnya tersebar masing-masing di Kiwangona, Ile Boleng dan di Lite. Juga dikelola para suster.

Romo Deken wilayah Adonara, Romo Lazarus Laga Koten, Pr dalam perbincangannya dengan tim pengkaji di Penginapan Asri menyebutkan bahwa pelayanan kesehatan kepada masyarakat oleh para suster itu sudah berlangsung lama. Hal ini, katanya, merupakan salah satu gambaran nyata tentang keterlibatan agama sebagai salah satu pilar dalam membangun masyarakat. "Kunci sukses dari semua itu adalah peran umat," katanya.

Semua cerita di atas mengantar kita kepada sebuah permenungan kecil untuk menjawab pertanyaan sederhana yang dilontarkan Mas Conny tentang standar apa yang digunakan orang Adonara untuk menilai apakah seseorang dikatakan berhasil atau tidak. Memang jawabannya sangat beragam. Ada yang mengatakan, kalau dulu keberhasilan itu dapat diukur dari seberapa banyak seseorang bisa menanam. Kemudian bergeser ke berapa banyak hasil panenan. Tapi kini jawabannya adalah pada seberapa tinggi pendidikan anak-anak.

Lalu bagaimana dengan keberhasilan pembangunan di kawasan Adonara? Apakah baru akan dapat dikatakan berhasil jika cita-cita pembentukan kabupaten baru di Adonara terjawab? Apakah tingkat kesejahteraan masyarakat di Adonara akan berkembang secara otomatis bersamaan dengan Adonara jadi kabupaten atau justru melahirkan kegelisahan baru?

Cornelis Lay hampir di seluruh diskusi selalu menekankan bahwa kajian yang dilakukan tim ini sama sekali tidak untuk memutuskan apakah Adonara layak atau tidak layak jadi kabupaten. Hasil kajian akademis ini menurutnya merupakan masukan bagi pengembangan pembangunan Flores Timur ke depan, dengan pemekaran atau tanpa pemekaran. (peren lamanepa/ntt online)

Adonara Layak Jadi Kabupaten

Oleh: Fredryk Tokan

Membaca berita harian lokal Pos Kupang, yang berjudul “UGM Kaji Pembentukan Kabupaten Adonara” (Pos Kupang, 10 April 2008) mengisyaratkan penulis bahwa Adonara memang pantas dikaji oleh UGM. Dari 114 proposal pemekaran yang diajukan oleh kabupaten induk untuk dimekarkan di Indonesia,

dua terpilih untuk layak dikaji, yakni pemekaran di Kabupaten Puncak Jaya Wijaya, Provinsi Papua, dan Kabupaten Flores Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Terseleksinya kedua kabupaten tersebut, bukan karena persoalan kebetulan tetapi memang kedua kabupaten yang akan dimekarkan tersebut layak secara administrasi berdasarkan proposal yang dikirim, kata ketua Tim pengkaji Drs. Cornelis Lay, M.A, ketika melakukan kegiatan pengkajian tahap awal pada tanggal 9 April 2008 di ruangan serba guna Kantor Camat Adonara Timur Flores Timur.

Tim UGM, yang diawaki oleh 5 (lima) pengkaji yakni Dr. Purwosantoso, M.A, Drs. Cornelis Lay, M.A, Dra. Ratnawati, S.U, Wawan Mas’udi, S.IP, MPA dan Nova Dona Bayo, SIP telah menunjukkan keprofesionalan dalam mengkaji Adonara. Kemiskinan, isolasi dan konflik. Sebagai tiga pisau analisis mereka. Pengkajian terhadap aspek kemiskinan dengan melihat beberapa indikator, seperti Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) baik di 8 kecamatan yang berada di Pulau Adonara maupun Kabupaten Flores Timur secara keselurahan.

Selain indikator kemiskinan berupa PAD dan PDRB, terdapat juga indikator Sumber Daya Alam dan Manusia dan berbagai indikator berdasarkan pemenuhan kebutuhan primer, sekunder dan tersier masyarakat dan berbagai potensi yang dapat diprediksi untuk dikembangkan dalam membangun Flores Timur ke depan umumnya dan Adonara pada khususnya.

Aspek kajian yang kedua, adalah isolasi, yang dapat dibedakan dalam kerangka konseptual yakni isolasi secara fisik berupa infrastruktur dan isolasi sosial. Aspek kajian ketiga adalah konflik, stigma yang dibangun oleh para peneliti bahwa Adonara adalah The Island Murder, Pulau pembunuh.

Atau secara sederhana adalah pulau penuh konflik (terinspirasi dari Paul Arndt seorang Antropolog etnografi), sebuah pertanyaan mendasar adalah apakah realitas berbicara demikian? Atau apakah refrensi yang dibaca oleh para pengkaji sama dengan realitas saat ini? Kalau memang dikenal pelabelan “banyak konflik, kira-kira konflik apa yang terbanyak, serta bagaimana menyelesaikan konflik tersebut?

Menurut penulis belum maksimalnya pemanfaatan kearifan lokal dalam penyelesaian konflik menyebabkan begitu banyak konflik yang menggantung dalam masyarakat. Penulis yakin dengan sebuah ungkapan filosofi klasik Adonara, “Taan medo di toiro, mela di toiro” ( adanya konflik dan penyelesaian konflik ada dalam diri kita).

Filosofi ini mau menggambarkan kepada orang Adonara bahwa adanya konflik, pasti ada cara penyelesaiannya atau dengan ungkapan sederhana, kembalikan permasalahan konflik kepada kearifan lokal untuk menyelesaikannya.

Pengkajian ini bukan hanya memberikan sebuah judul layak atau tidaknya Adonara menjadi kabupaten, tetapi bagaimana mengapresiasikan kekurangan atau ketidakmampuan pemerintah Kabupaten Flores Timur sebagai pengemban misi pelayanan kepada masyarakat selama ini berdasarkan telaahan akademis.

Penulis yakin bahwa hasil kajian pasti menarik sehingga dapat memberikan sebuah benang merah bagaimana jika Flores Timur dimekarkan? Apa yang harus dikerjakan untuk mempersiapkan pemekaran tersebut? Atau sebaliknya jika tidak dimekarkan, apa yang harus dikerjakan atau dipersiapkan agar pelayanan dapat terjangkau oleh masyarakat Adonara?

Sebuah apresiasi masyarakat Adonara Barat terhadap pengkajian tersebut menghasilkan berita pada sebuah koran lokal Flores Pos dengan judul, “Adonara Barat Tolak Kabupaten Adonara” dan “Otonomi Adonara Butuh 15 Tahun Lagi” (FP, 16/4 dan 17/4, 2008).

Kedua berita tersebut, jika disimak secara cermat lebih menggambarkan kekhawatiran masyarakat Adonara Barat yang tetap tertinggal jika adanya sebuah kabupaten Adonara. Karena itu masyarakat Adonara Barat membutuhkan waktu 15 tahun lagi untuk menggapai kabupaten Adonara.

Dari berita tersebut dapat disimpulkan penulis bahwa masyarakat Adonara Barat memberikan sebuah kritikan yang konstruktif kepada pemerintah Kabupaten Flores Timur atas ketidakpuasan mereka dalam mendapatkan pelayanan selama ini (menjadi bagian dari Kabupaten Flotim).

Selain itu bidikan kritikan juga ditujukan pada para pengurus Forum Persiapan Adonara Kabupaten (F-PARK) agar lebih memaksimalkan perannya (sosialisasi) dalam mempersiapkan Adonara menuju otonom. Harus diakui dengan jiwa besar bahwa sosialisasilah yang belum maksimal (F-PARK) sehingga masyarakat Adonara Barat begitu khawatir dengan trauma Flores Timur dapat terulang kembali.

Di mata penulis, kekhawatiran ini, karena masyarakat Adoanara Barat memandang bahwa kemiskinan dan keterisolasian sebenarnya tidak harus dialami mereka (masyarakat Adonara Barat). Keberadaan lingkungan dan Sumber Daya Alam yang begitu menjanjikan dibaratkan bagaikan tikus yang kelaparan dalam lumbung yang penuh berisi beras. Letaknya di depan hidung kota Larantuka, tetapi dirasakan seperti begitu jauh dari pandangan mata.

Siapa pun pemimpinnya saat ini dimata mereka, jiwa gelakat kepada Lewotana (pengabdian kepada kampong halaman) telah begitu luntur. Akibat nilai histrorical dan culture yang telah diredusir menjadi sebuah pemenuhan kebutuhan hedonism dan ersazt capitalism (kapitalis semu) demi kepentingan politik.

Adonara layak jadi Kabupaten

Menurut tim pengkaji yang diwakili oleh Cornelis Lay, “bahwa kalau untuk sekedar memenuhi syarat-syarat formal sebagaimana yang digariskan dalam aturan kenegaraan yang ada saat ini, Adonara sudah layak menjadi kabupaten” (FP, 17/4, 2008).

Simpulan sederhana dari pernyataan tim pengkaji tersebut adalah Adonara telah layak berdasarkan Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 5 ayat 1 - 5 dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 Tentang Tata cara Pembentukan, Penghapusan dan Penggabungan Daerah, Pasal 2 sampai 17.

Karena itu perlu adanya kemaun baik dari berbagai elemen masyarakat Adonara untuk menyikapinya dengan persiapan dan sambil mencari benang merah tiga pokok permasalahan di atas sehingga permasalahan pembangunan ke depan dapat menitikberatkan pada tiga aspek permasalahan tersebut. Kemiskinan, keterisolasian dan konflik dapat diminimalisir dari realitas kehidupan masyarakat Adonara ke depan.

Lewotana Adonara telah berusaha dengan caranya tersendiri untuk menunjukkan kehebatannya dimata tim pengkaji. Mengapa kita menegasikan dengan intrik-intrik politik dibalik itu? Siapa yang menghalanginya akan menuai apa yang ditaburkannya.

Karena Masyarakat Adonara begitu meyakini kekuatan Lewotanannya. Lewotana Adonara mete nolo kae, nengga tite dore hala? (Adonara telah jalan mendahului kita, mengapa kita tinggal diam) “Koda Sare Naan Tite Dike Sare, Koda Te Pe Ure Dopi Hulen Doan. (bahasa yang baik membuat kita baik, bahasa pemecah harus dihilangkan jauh-jauh). Mari sambut Adonara kabupaten. (ntt.online)

Dari Adonara ke Dikotomi Timur Barat

Oleh Peren Lamanepa

MENELUSURI Adonara saat itu ternyata tidak beda sulitnya dengan menyusuri sejarah Adonara. Dan untuk menyusuri sejarah Adonara tidak lengkap kalau tidak menyinggahi Desa Adonara yang pada awalnya bernama Liang lolon (di atas tebing).

Kamis 10 April 2008 siang itu, setelah berkunjung ke situs bekas kerajaan Adonara di Sagu dan menemui beberapa keturunan raja dari keluarga Kamba, tim pengkaji dengan menupang sebuah minibus yang difasilitasi Ketua FPArK dipandu Sekretaris FPArK menuju Adonara. Kami menyusuri jalan panjang dan menikmati aneka gambaran nyata dinamika pembangunan Flores Timur dalam konteks sebagai sebuah kabupaten kepulauan.

Memasuki Desa Adonara, tampak Danau Kota Kaya seperti menganga menyambut dari sisi kanan jalan ke gapura desa. Di sisi lainnya dari jalan yang terbuat dari coran semen, ada puing bekas benteng, sebagai gambaran adanya pengaruh kolonialisme di wilayah itu. Pak Martinus Luli Hada yang guru sejarah menyebut puing itu sebagai bekas benteng Portugis. Walau demikian tidak ada gambaran lebih lengkap tentang seberapa kuat pengaruh Portugis di sana.

Memasuki perkampungan, saya sempat menemukan 9 buah meriam tua. Empat meriam diletakan mengawal lango bele (rumah adat) di 4 penjuru. Satu meriam yang lain yang menghadap ke pintu masuk ke rumah adat ada tertulis “Compagnie Des Indes de France 1753” yang mulai pudar. Sedangkan 4 meriam lainnya seperti berserakan di dalam kampung, masih tak jauh dari rumah adat.

Tapi menurut Ama Nue Ape, tetua adat Desa Adonara, total meriam tua yang berada di desa itu ada 11 buah. 2 yang lain berada di rumah adat. Menurutnya, pernah oleh beberapa orang ditawari akan dibeli tapi tidak dilepaskan untuk dijual.

Sebelumnya, saat di Sagu, kami juga ditunjukan tugu tua yang seluruhnya terbuat dari batu mamer warna putih. Pak Martinus Luli Hada menyebut jugu itu adalah makam prajurit Angkatan Laut Belanda berpangkat Letnan – Luitje van Der Borg yang meninggal pada 3 Agustus 1904. Disekitar makam itu juga terdapat 2 makam lainnya yang hampir tak berbekas.

Dari bukti-bukti fisik yang ada, bisa terbaca adanya pengaruh Belanda dan Portugis di Kerajaan Adonara? Ada bukti fisik lain berupa surat keputusan dari pemerintahan kolonial Belanda yang diberikan kepada Raja Adonara, yang sedikit mengusik nalar kami untuk bertanya mungkinkah kerajaan Adonara adalah bentukan Belanda? Dan inilah sesungguhnya pintu masuk menuju ke pengembaraan selanjutnya menyusuri Adonara, yang konon ada sebuah nama pemberian kolonial?

Beberapa penuturan yang sempat kami rekam saat berada di Waiwerang menyebutkan bahwa nama Adonara merupakan pemberian orang Belanda. Kata Adonara terdiri dari 2 suku kata ADO = Adu dan NARA = Kawan (Saudara). Secara harafiah, Adonara berarti adu saudara, atau dalam terjemahan yang lebih bebas lagi, Adonara dapat berarti adu domba. Terjemahan yang demikian itu mengingatkan kita semua pada adu domba yang digunakan Belanda ¬sebagai sebuah tak-tik untuk menguasai lawan. Mungkinkah meletusnya perang Paji – Demon tahun 1859 adalah bagian dari pengembangan politik adu domba Belanda dengan pemberian nama Adonara kepada pulau yang pada tahun 2007 berpenduduk 102.854 jiwa yang tersebar di 8 kecamatan dan 111 desa itu?

Versi lain tentang asal muasal nama Adonara juga disampaikan tokoh karismatik Desa Adonara, Ama Nue Ape, yang juga petutur sejarah Adonara. Nama Adonara menurutnya berasal dari kata DONARA (pemberian orang Portugis) dan merupakan gabungan dari 2 kata; Don (Portugis) = orang berderajat dan Nara (Lamaholot) = kompleks permukiman. Karena pengaruh cara pengucapan kita orang Lamaholot, Donara kemudian berubah menjadi Adonara yang menurut Ama Nue Ape berarti kompleks permukiman para bangsawan. Sebelumnya, Desa Adonara bernama Liang Lolon (di atas tebing) sebagaimana geografisnya yang masih terlihat hingga sekarang.

Apalah arti sebuah nama? Terlepas dari kontroversi tentang asal muasal nama Adonara, serta aneka konflik yang terjadi di Adonara yang sering menyita banyak perhatian, waktu dan dana dari Larantuka (sebagai pusat pemerintahan kabupaten), diakui atau tidak Adonara wilayah penyanggah utama perekonomian Kabupaten Flores Timur. Ini sudah berlangsung sejak awal berdirinya Flores Timur. Namun politik pembangunan yang dikembangkan selama ini dari pusat kekuasaan di Larantuka ternyata hanya melahirkan dikotomi antara orang pulau (Adonara – Solor) dan Larantuka. Pembangunan Flores Timur sepertinya hanya selesai di Larantuka sehingga meninggalkan aneka kesenjangan antarwilayah yang masih nyata. Mungkinkah kabupaten baru di Adonara merupakan satu-satunya jalan untuk bisa menjawab situasi traumatik itu tadi?

Forum diskusi antara masyarakat Adonara Barat dengan tim pengkajian dari UGM yang berlangsung di aula kantor Camat di Waiwadan, Kamis (10/4) malam lalu menarik untuk disimak, karena ternyata di forum itu terungkap adanya kekhawatiran orang Adonara Barat terhadap dominasi timur (wilayah Adonara Timur). Timur digambarkan sebagai sebuah wilayah berpenghuni manusia yang lebih dulu mengenyam pendidikan tinggi. Sementara di barat hingga kini masih menyisakan angka putus sekolah yang tinggi.

Walau mengklaim memiliki potensi ekonomi yang luar biasa, khususnya dari aneka komoditas unggulan yang dihasilkan para petani di wilayah barat, masyarakat Adonara Barat ternyata tidak mampu mengembangkan diri dan dininabobokan oleh alam, dan bahkan lupa menyekolahkan anak-anak mereka. Itu soal dikotomi baru di Adonara.

Dalam kaitan dengan peran Larantuka, kondisi infrastruktur di hampir seluruh wilayah Adonara yang masih jauh tertinggal, jelas mengungkapkan adanya kesenjangan antarwilayah yang sangat nyata. Pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Flores Timur sepertinya masih sebatas slogan belaka. Proses percepatan pembangunan adalah kata-kata tanpa makna. Namun demikian, kabupaten Adonara menurut orang Adonara Barat bukan hal yang sangat mendesak. Harus diawali dengan penyiapan infrastruktur yang baik serta berbagai sarana dan prasarana pendukung lainnya, yang seluruhnya disiapkan oleh Larantuka. Artinya membutuhkan waktu sekitar 5 sampai 10 tahun lagi untuk mewujudkan Adonara jadi kabupaten?

Selain untuk memperbaiki insfrastruktur, penundaan waktu kelahiran kabupaten Adonara juga mereka maksudkan untuk mempersiapkan mental dan situasi batin manusia di wilayah barat Adonara menghadapi kemungkinan perubahan yang bakal datang bersamaan dengan otonomi. Artinya, mereka tidak ingin kue pembangunan yang selama ini tidak dibagikan secara merata oleh Larantuka, masih akan dijumpai di era otonomi Adonara itu nantinya.

Suasana di Waiwadan itu sepertinya menjadi warna lain bagi tim pengkaji dalam merumuskan hasil kajian mereka. Keterbukaan mengungkapkan kekesalan, rasa trauma, juga cerita-cerita sukses tentang pembangunan diharapkan akan ikut memperkaya warna hasil kajian yang dilaporkan tim itu nantinya. Maksudnya agar laporan kajian akademis itu nantinya bisa benar-benar bermanfaat bagi perkembangan pembangunan di Flores Timur nantinya, baik melalui pembentukan kabupaten baru atau tanpa kabupaten baru.

Kamis, 05 Juni 2008

PEMBERHENTIAN KEPALA DESA DIKESARE INKONSTITUSIONAL DAN ”PENGANGKANGAN” DEMOKRASI

Siaran Pers LAP TIMORIS:

Kehadiran UU 32 TAHUN 2004 tentang Otonomi Daerah berdampak pada perubahan penyelenggaraan tata pemerintahan sampai ke pemerintahan desa. Sejak digulirkan, diharapkan mampu menjadi jalan untuk demokratisasi, dengan meningkatkan partisipasi dan keterlibatan masyarakat dalam setiap proses pembangunan. Atau dengan kata lain, kewenangan penyelenggaran dan pengaturan pemerintahan diberikan kepada daerah, berotonom mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat.
Otonomi daerah dalam hubungannya dengan desa, diatur dengan PP 72/2005, tentang Desa dan Keputusan Mentri Dalam Negri No. 64 tahun 1999 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa. Adanya peraturan spesifik tentang desa merupakan harapan baru berkembangnya demokrasi di tingkat desa. Sistim dan mekanisme penyelanggaran pemerintahan otoriter yang hanya menggunakan desa sebagai alat kepentingan penguasa bergeser kepada otonomi. Desa berhak menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan asal-usul, kebutuhan wilayah, prakarsa dan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan, termasuk proses dan mekanisme Pemilihan Langsung Kepala Desa (Pilkades) yang adalah perwujudan demokrasi di desa.
Pemilihan langsung kepala desa sesuai ketentuan normatif memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada masyarakat melalui BPD untuk mengatur semua proses dan mengkawalnya hingga pelantikan kepala desa terpilih adalah wujud nyata demokrasi sedang berkembang ditingkat desa. Ironis, kalau ada pihak atau penguasa kabupaten berupaya mematikan demokrasi yang tengah berkembang dengan mengintervensii keputusan-keputusan politik di tingkat pemerintahan desa.
Hal ini sedang terjadi di Kabupaten Lembata. Pilkades di Desa Dikesare Kabupaten Lembata terjadi ”pengebirian” demokrasi oleh Pemerintahan Kabupaten Lembata. Proses pemilihan dari awal hingga penyerahan berita acara hasil pemilihan calon kepala desa telah selesai dilakukan dan diserahkan ke Kabupaten melalui camat Lebatukan. Pilkades Dikesare ini dimenangkan sdr. Eustakius Rafael Suban Ikun dengan jumlah suara kemenangan 165 suara, mengungguli sdr. Usman Gega dengan jumlah 43 suara.
Anehnya, pada tanggal 13 September 2007 dikeluarkan Surat Pemberhentian Kepala Desa Dikesare melalui Surat Keputusan Bupati Lembata No. 141 Tahun 2007 yang ditandatangani Wakil Bupati Lembata, Andreas Nula Liliweri. (surat diberikan ke kepala desa Dikesare pada bulan Oktober 2007)
Berkaitan dengan pemberhentian Kepala Desa Dikesare yang tidak prosedural dan demokrastis ini, Lembaga Advokasi dan Penelitian (LAP) Timoris menyatakan:

1. Keputusan Bupati Lembata Nomor 141 Tahun 2007 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Penjabat Kepala Desa Dikesare, Kabupaten Lembata merupakan tindakan sewenang-wenang pemerintah kabupaten (abus de droit atau willekeur) dan Inkonstitusional. Hal ini bisa dilihat dalam ketentuan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 pada pasal 17 dan Peraturan Daerah Kabupaten Lembata Nomor 5 Tahun 2006 Pasal 33 ayat (1) bahwa “Kepala Desa berhenti karena: a). Meningggal dunia; b). Permintaan sendiri; c). Diberhentikan; Ayat (2) Pasal 33 huruf a, ditegaskan bahwa: Kepala Desa diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c karena: “berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru”. Ayat (3) Pasal 33 bahwa “Usul pemberhentian Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b dan ayat (2) huruf a dan b diusulkan oleh pimpinan BPD kepada Bupati melalui Camat, berdasarkan hasil rapat BPD yang ditetapkan dengan Keputusan BPD”.
Logika ini mengamanatkan bahwa:
a. Peraturan Daerah Kabupaten Lembata Nomor 5 Tahun 2006 Pasal 33 Ayat (2) Pasal 33 huruf a, bahwa: Kepala Desa diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c karena: “berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru” adalah masa jabatan kepala desa sebelumnya berakhir ketika terjadi pelantikan kepala desa baru/terpilih. Selama kepala desa terpilih belum dilantik maka kepala desa sebelumnya tetap sebagai kepala desa dan secara hukum tetap menjalankan tugas sebagai kepala desa sebagaimana mestinya.
b. Ayat (3) Pasal 33 adalah landasan pijak hukum bupati memberhentikan kepala desa harus mendapatkan usulan dari Badan Perwakilan Desa (BPD). Demokrasi terjadi pada proses ini, artinya masyarakat berhak mengusulkan melalui BPD dan bukan intervensi dari Bupati. Kecuali, hak bupati memberhentikan/sementara tanpa menerima usulan BPD jika melakukan tindakan melanggar ketentuan; Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005, pasal 18 ayat 1 dan 2 dan pasal 19 atau Peraturan Daerah Kabupaten Lembata Nomor 5 Tahun 2006, pasal 34 ayat 1 dan 3 dan pasal 35.
Namun demikian, jika dilihat bagian menimbang surat keputusan tersebut (poin a) sama sekali diluar kewenangan pemberhentian langsung oleh bupati.
2. Keputusan Bupati ini adalah bentuk penyelenggaran pemerintahan orde baru yang masih tumbuh subur di Kabupaten Lembata, yakni penyelenggaran pemerintahan otoriter yang tidak mendengarkan aspirasi dan partisipasi masyarakat, tidak mengikuti (berupaya melanggar) prosedur hukum yang demokrastis di tingkat desa. Peran BPD hendak dimandulkan pemerintahan Kabupaten Lembata
3. Keputusan Bupati Lembata Nomor 141 Tahun 2007 secara formal tidak memenuhi syarat sebagai sebuah Keputusan (beschikking). Judul keputusannya adalah Keputusan Bupati secara formal harus ditandatangani oleh Bupati Lembata sebagai pejabat yang membuat dan bertanggungjawab atas keputusan tersebut. Dalam keputusan tersebut pengesahaannya ditandatangani Wakil Bupati Lembata, Andreas Nula Liliweri, secara formal adalah cacat hukum. Sebagai perbandingan, keputusan bupati ditandatangani wakil bupati hanya terjadi di pemerintahan Kabupaten Lembata.

4. Pengankatan sdr. Making Gregorius yang adalah Sekretaris Camat Lebatukan sebagai Pejabat Kepala Desa Dikesare adalah tindakan melanggar ketentuan hukum. Dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2006 khususnya pada BAB XII pasal 41 ayat (1) dan (2) menegaskan bahwa; ayat (1). Pengangkatan Penjabat Kepala Desa ditetapkan dengan Keputusan Bupati atas usul BPD. Kemudian pada ayat (2), Penjabat Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sekretaris desa atau perangkat desa lainnya atas usul BPD. Karena itu, keputusan ini adalah bentuk tindakan kesewenang-wenangan dana cacat hukum.

5. Beberapa desa di Kecamatan Lebatukan sama seperti halnya Desa Dikesare telah menyelesaikan pilkades. Namun tidak diberikan surat pemberhentian kepala desa. Dugaan LAP Timoris, kasus yang terjadi di Desa Dikesare adalah lebih bernuansa politik karena keberpihakan Kepala Desa Dikesare kepada masyarakat dan menolak menjadi agen kepentingan penguasa pemerintahan kabupaten.

Dari telaahan prosedur hukum ini, Lembaga Advokasi dan Penelitian (LAP) Timoris menyatakan SK Bupati Lembata Nomor 141 Tahun 2007 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Penjabat Kepala Desa Dikesare adalah cacat hukum dan “pengangkangan” terhadap demokrasi.
Menuntut pencabutan SK Bupati Lembata No. 141 Tahun 2007 dan segera melantik calon kepala desa terpilih, sdr. Eustakius Rafael Suban Ikun sebagai Kepala Desa Dikesare untuk periode 2007-2013

Kupang, 1 Desember 2008


Hipol Mawar
Direktur

Rabu, 04 Juni 2008

Demokrasi di Indonesia Sesuai Prinsip Demokrasi Modern

London, NTT Online - Demokrasi yang sekarang sedang dikembangkan di Indonesia sesungguhnya sudah sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi modern, ujar Amich Alhumami, seorang peneliti sosial yang tengah melanjutkan studi doktoral di University of Sussex, Inggeris.

Kelembagaan politik demokrasi telah dibangun Partai yang menjadi pilar utama demokrasi juga hidup, bahkan penerapan sistem multi-partai, ujarnya kepada Antara London, Rabu sehubungan dengan berkembangnya multi partai di tanah air.

Amich Alhumami, mahasiswa doktoral bidang antropologi menyebutkan hak-hak sipil dan kebebasan politik juga dijamin sehingga partisipasi publik makin terbuka luas. Namun, partai politik tidak atau belum sepenuhnya menjalankan peran agregasi kepentingan masyarakat dan penyalur aspirasi publik sebagaimana fungsi elementer keberadaan sebuah partai.

Diakuinya Partai politik memanfaatkan sistem multi-partai untuk kepentingan individual politisi dan kelompok sehingga terdapat jarak yang lebar antara aspirasi konstituen dengan anggota parlemen yang mewakili suatu partai di badan legislatif.

Dalam kasus pilkada, misalnya, partai bahkan tak ubahnya seperti menjalankan bisnis rental yakni menyewakan partai sebagai kendaraan politik untuk merebut jabatan publik, menjadi bupati, walikota, atau gubernur.

Transaksi politik dalam proses demokrasi seperti ini membutuhkan biaya ekonomi sangat besar dan mahal, sehingga melanggengkan budaya money politics (politik uang) dan praktik korupsi.

Dikatakannya dalam kondisi demikian, keberadaan KPK memang menjadi satu-satunya tumpuan untuk meredam kecenderungan praktik korupsi terutama dalam konteks political corruption.

Untuk itu, perkuatan kelembagaan KPK mutlak diperlukan, bahkan fungsi kontrol dari pers dan lembaga-lembaga civil society seperti ICW, ormas, masyarakat kampus, dan kelompok intelektual independen harus diperkuat sebagai pengimbang, agar demokrasi berjalan sebagaimana mestinya.

Untuk menjalankan pemerintahan yang bersih juga harus sejalan dengan reformasi birokrasi secara menyeluruh dan konsisten, yang disertai pengawasan ketat karena birokrasi merupakan ujung-tombak pelayanan publik.

Berbicara mengenai aksi yang dilakukan oleh berbagai golongan dalam menghadapi masalah yang dihadapi masyarakat saat ini seperti kenaikan BBM yang mencerminkan dari ketidakpuasan mereka atas situasi yang ada tanpa harus turun ke jalan dan berbuat anarkis tetapi berusaha mencari solusi.

Menurut Achmid Alamhudi, tentu saja Indonesia perlu menyambut baik kelompok-kelompok masyarakat yang lebih memilih jalan dialog melalui berbagai macam pertemuan dalam menghadapi suatu permasalahan yang muncul di masyarakat.

Disayangkannya perilaku anarkis dalam berbagai aksi demonstrasi jelas berlawanan dengan prinsip-prinsip demokrasi, yang mengutamakan dialog konstruktif dan pertukaran gagasan dalam suasana damai dan harmonis, ujarnya.

Diakuinya beberapa kelompok masyarakat ada yang memanfaatkan situasi keterbukaan dan kebebasan di alam demokrasi ini secara tidak bertanggung jawab, dengan melakukan aksi-aksi anarkis dan vandalisme yang merusak dan mengganggu ketertiban sosial.

Perilaku demikian jelas tidak bisa ditoleransi dan tak ada tempat di dalam sistem demokrasi. Pembelaan pada masyarakat yang mengalami marginalisasi dan rakyat yang mengalami kesulitan hidup akibat kenaikan harga BBM tak bisa ditempuh melalui demonstrasi massa yang disertai tindakan anarkis.

Dikatakannya demonstrasi memang merupakan bentuk penyaluran aspirasi politik yang wajar, namun partisipasi politik yang sangat eksplosif apalagi sampai merusak tatanan sosial jelas merupakan anatema sistem demokrasi.

Demokrasi harus dijalankan secara santun dan bermartabat, sehingga memberi manfaat bagi semua warga masyarakat, demikian Amich Alhumami yang juga aktivis Muhammadiyah UK. (antara)