Jumat, 12 Juni 2009

Politik Uang Merusak Martabat Manusia.

“Banyak caleg yang mem-bagibagi uang kepada ma-syarakat. per kepala Rp. 25.000 hingga 200-san ribu. Selain uang, dalam bentuk barang, seperti semen, be-ras untuk desa dan rumah-rumah ibadat,” ungkap Rafael rabu Nihan di kediamannya Wangatoa ( 21/3).
Menurut Rafael, kasus-ka-sus pelangaran pemilu (money politic) sudah dilaporkan ke Panwas Kabupaten tetapi tidak ditindaklanjuti kepolisian.
“Kasus money politic yang dilakukan oleh anggota KPPS TPS 2 Desa Bunga Muda yang adalah tim sukses caleg Tresia Abon Manuk dari PDI-P yang membagi uang kepada Tresia Terima sebanyak Rp. 200.000 dan kepada Yohanita Nimanuho, Rp. 20.000,” jelas Nihan.
Pengamat Politik Dr. Philp. Norbert Jegalus ditemui di Hotel Lewoleba, kamis (22/3) mengatakan, politik uang dalam pesta demokrasi adalah dosa berat karena melanggar martabat manusia karena dampaknya secara luas dan merusak nurani manusia. Jika dalam pemilu yang meru-pakan pesta rakyat para peserta pemilu, yakni caleg yang melakukan politik uang dapat dikategorikan sebagai tindakan pelanggaran berat. Norma agama, sebagaimana dikatakatan Benny Susetyo, Pr, tindakan seperti itu dikategorikan sebagai dosa berat. Demiki-an dikatakan, Dosen Fakultas Filsafat UNIKA Kupang ini mengatakan, dalam etika politik, seseorang melaku-kan pemberian pada saat pemilu, dia sedang merusak harkat dan martabat yang menerima. Pemberi dengan se-ngaja memberi bukan ka-rena keiklasan dan ke-lebihannya tetapi untuk kepentingan supaya dia dipilih. Ini yang merusak martabat penerima atau masyarakat. Sikap yang demikian, menandakan orang tersebut maju menjadi caleg bukan menjadi wakil rakyat dan memperjuangkan kepentingan pu-blic tetapi dewan dijadikan sebagai tempat mencari nafkah.
Bahayanya lanjut Norbert, jika politik uang dilakukan oleh banyak caleg maka anggota dewannya adalah kumpulan pencari nafkah bukan wakil rakyat yang memperjuangkan kepen-tingan public.
Secara terpisah, Wilson M.A.Terik mengatakan, jika masyarakat diberi uang atau beras dan atau jenis lainnya dalam masa kampanye, diterima saja oleh masyarakat tetapi Wilson mengajak untuk tidak memilih caleg yang melakukan perusakan moral dengan melakukan politik uang.
Dikatakan, jika awal saja sebelum menjadi anggota dewan sudah melakukan hal-hal yang kotor maka prilaku kotor akan terus terjadi kelak sudah menjadi anggota dewan. Karena itu, masyarakat dihimbau untuk memilih secara cerdas dan sesuai hati bukan karena menerima pemberian dari caleg dan harus memilih caleg dimaksud.
Sementara itu, Ketua Panwaslu Kabupeten Lembata, Petrus Payong mengungkapkan banyak caleg yang melakukan politik uang dalam masa kampanye. Panwaslu sudah menemukan beberapa kasus dan sedang dalam proses pelaporan.
Diakuinya, beberapa caleg mengibuli stafnya dilapangan. Sebelumnya staf panwaslu sudah mengantongi informasi tentang ada caleg yang hendak melakukan politik uang dalam bentuk material pada sore hari. Tetapi rupanya mereka mengetahui ada panwaslu yang sedang memantau sehingga mereka melakukan-nya pada jam 12 malam.
Pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh caleg atau partai tertentu jika proses hukum membuktikan, maka caleg atau parpol tersebut bisa dicoret keikutsertanya dalam pemilu kali ini. Karena itu, masyarakat diminta untuk terlibat memantau dan melaporkan ke Panwas Kabupeten Lembata.

Peristiwa Penting Abad XX Adalah Demokrasi

Bertempat di aula Hotel Lewoleba Sekolah Demokrasi (SD) Lembata kelas II membahas materi Konsepsi Demokrasi. Modul konsepsi ditulis Dr. Daniel Sparinga dan Dr. Ignas Kleden. Pertemuan yang dihadiri 28 peserta itu berlangsung dari tanggal 18 sampai 20 Maret 2009. Dua narasumber, yakni; Dr. Phil Norbertus Jegalus, MA dan Wil-son M.A. Therik, S.E,M.Si selama tiga hari menyampaikan materi.
Norbert panggilan akrab Dr. Phil Norbertus Jegalus, MA mengatakan, peristiwa penting di abad 20 ini adalah demokrasi mengu-tip pikiran peraih nobel ekonomi Amartya Sen. Pada hal jika dicermati, masih banyak peristi-wa penting lain dunia, seperti; berakhirnya penjajahan (Inggris, Perancis dan Belanda), Perang Dunia Kedua yang menghancurkan sebagian besar manusia dan peradaban du-nia; Perlombaan senjata antara Blok Timur dan Barat (perang dingin); dan runtuhnya komu-nisme di Blok Timur. Bagi Sen tetap demokrasi masih yang paling penting dari semua itu.
Dijelaskan, alasan dibutuhkannya demokrasi karena demokrasi dapat memperkaya kehidupan seorang individu karena memberinya kebebasan dan menjamin bahwa kebebasan itu dapat dinikmati tanpa terlalu terhalang. Jaminan itu misal-nya diakuinya hak-hak politik dan hak-hak sipil individu; demokrasi dapat menolong rejim yang memerintah untuk lebih cepat tanggap terhadap keluhan, tuntutan dan kebutuhan rakyat; dan demokrasi mendorong lahirnya masyarakat terbuka dengan ciri-ciri seperti: dialog, diskusi, perdebatan, pertukaran, persaingan.
Dosen Filsafat Politik Unwira Kupang ini menjelaskan fungsi-fungsi demokrasi, yakni;
pertama, fungsi intrinsik demokrasi: membantu pertumbuhan seorang individu. Demokrasilah yang memungkinkan negara mengatur jaminan hukum dan politik agar seseorang bisa bertumbuh matang dan wajar. Tanpa dukungan kebebasan seseorang tidak mendapat kematangan dan kewajaran dalam pertumbuhan dirinya sebagai manusia yang normal. Itulah sebabnya di negara demokratis kebebasan individual dijamin oleh negara. Pelanggaran terha-dap kebebasan ini adalah pe-langgaran HAM. Jadi, demokrasi berhubungan dengan nilai intrinsik perkembangan diri manusia.
Kedua, fungsi instrumental demokrasi: karena demokrasi adalah juga sarana bagi suatu pemerintah untuk mendapat legitimasinya, dan hanya rakyat yang bisa melegitimasi kekuasaan pemerintahan. Dalam kaitan dengan ini, Sen berbicara tentang kelaparan. Jadi ada hubungan antara demokrasi dan kelaparan: Kelaparan tidak di-sebabkan oleh kekurangan makanan tetapi oleh kekurangan demokrasi. Karena dalam masyarakat yang demokratis dimungkinkan rakyat melalui parpol atau parlemen menekan pemerintah untuk memberikan perhatian terhadap gejala kelaparan yang muncul. Dalam masyarakat yang tidak demokratis pemerintah tidak dipaksa untuk tanggap terhadap fenomen kelaparan atau fakta kelaparan itu.
Contoh: (1) Kasus kelaparan di China tahun 1958-1961 yang menyebabkan kematian 30 juta penduduk China. Padahal eko-nomi China saat itu relative baik, tetapi karena pemerintahan totaliter maka tidak ada ruang bagi suara rakyat. (2) Kasus kelaparan di India. Selama India berada di bawah Inggris, selama itu kasus kelaparan sebagai bagian dari kehidupan India. Tetapi begitu India merdeka, jadi demokrasi ada, maka sejak itu kelaparan tidak terjadi lagi.
Tiga, fungsi konstruktif demokrasi: karena suatu masyarakat demokratis memberi kesempatan kepada warganya untuk menguji nilai-nilai budaya yang dianut oleh berbagai kelompok melalui interaksi terbuka; juga adanya kesempatan untuk melibatkan semua pihak dalam membicarakan program politik semua pihak melalui diskusi dan debat. Bahkan dalam bidang ekonomi demokrasi memungkinkan pengujian kembali pelbagai kebutuhan melalui kritik.
Selain itu, demokrasi memberikan dampak terhadap, indi-vidu, ia (demokrasi—red) adalah suatu sarana untuk system pendidikan; terhadap pemerintah, ia (demokrasi—red) memberi kontrol; dan terhadap masyarakat ia (demokrasi—red) mendorong pembentukan system nilai budaya secara terbuka tanpa ada dominasi satu kelompok budaya.

Multikulturalisme
Memperbincangkan istilah multikulturalisme bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Disatu sisi sebagai sebuah das Sein tetapi sekaligus sebuah das Sollen disisi lainnya. Sebagai das Se-in berarti kita berbicara tentang fakta adanya pelbagai kebudayaan dalam masyarakat. Kita menyaksikan atau mengalami kamejmukan cara hidup. Kenyataan atau praktek kehidupan sosial itu merupakan hasil interaksi di antara pelbagai elemen sosial yang akhirnya menghasilkan sebuah kehidupan sosial atau lebih tepatnya sebuah kesadaran sosial ber-sama. Das Sollen berarti kita berbicara tentang sifat normatif dari kemajemukan budaya itu, bahwa fakta itu tidak sekadar menampilkan dirinya sebagai yang ada tetapi sekaligus me-ngajarkan sesuatu kepada masyarakat majemuk itu, ungkap Norbert.
Supaya fakta itu tetap berlang-sung demikian maka setiap komponen dari kemajemukan itu perlu menyadari adanya sebagai bagian dari yang lain. Itu berarti, yang berhak untuk tetap eksis bukan hanya dirinya sendiri melainkan juga yang lain. Karena itu, adalah tidak pada tempatnya kalau satu komponen budaya dalam masyarakat berusaha mempertahankan eksistensinya de-ngan cara menggeser atau melenyapkan yang lain.
Dijelaskan, multikulturalisme hidup dalam masyarakat maka ia hidup seturut perkembangan masyarakat itu juga. Pada umumnya multikulturalisme itu adalah hasil dari sebuah proses sosial. Sejarah ikut membentuk kehadirannya. Sejarah membentuk kesadaran komponen masyarakat akan kemajemukan budaya. Kalau sekarang kita menikmati kemajemukan budaya itu tanpa konflik, maka itu adalah hasil proses pembentukan kesadaran bersama dari pelbagai komponen masyarakat. Jadi, multikul-turalisme bukan sebuah fakta yang dilahirkan atau ditetapkan begitu saja.
Di Barat khusus Amerika dan Australia mengalami proses sejarah itu dengan banyak pe-ngalaman pahit dan kelam. Pengalaman negatif itu mereka berhasil tiba pada suatu model multikulturalisme berwajah manusiawi, sebagaimana terungkap dalam kesadaran akan HAM. Di Barat sejarah masyarakat itu berujung pada lahirnya kesadaran multikulturalisme dan demokrasi sekaligus. Ini suatu yang luar biasa dalam masyarakat Barat. Misalnya di Amerika: Multikuralisme adalah jawaban akan terjaminnya asas freedom of expresion, bahwa setiap orang berhak untuk mengeks-presikan apa saja meski apa yang dieks-presikan itu berbeda dan bah-kan bertentangan dengan “yang lain”. Kebebasan berekspresi adalah tanda adanya kesada-ran msyarakat akan nilai-nilai multikulturalisme. Seandainya tidak ada kesadaran akan mul-tikulturalisme, mustahil orang bisa sebebasnya mengung-kapkan apa yang merupakan nilai kebudayaannya.
Dijelaskan, di negara-negara bekas jajahan umumnya multikulturalisme adalah sebuah ga-gasan yang diperjuangkan. Mengapa? Karena pertamatama negara-negara bekas jajahan itu membangun kesadaran na-sionalisme. Umumnya hal ini dilakukan oleh para pendiri ne-gara itu. Para pendiri memba-ngun kesadaran bersama akan satu bangsa karena selama dijajah mereka dipisah-pisahkan menurut kelompok etnik demi kepentingan penjajah. Jadi semangat nasionalisme harus dibangun dulu, baru kemudian multikulturalisme. Jadi, nasionalisme itulah yang memungkinkan lahirnya kesadaran akan sebuah multikulturalisme.
Sementara itu, Wilson M.A. Therik, S.E.M.Si dalam menyampaikan materi kepada peserta mengatakan, Perkembangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut. Masalah pokok yang dihadapi Indonesia ialah bagaimana dalam masyarakat yang beranekaragam pola budayanya, mempertinggi tingkat kehidupan ekonomi disamping mem-bina kehidupan sosial dan politik yang demokratis. Menurutnya, periodesasi demokrasi yang berkembang di Indonesia, adalah; pertama, masa Republik Indonesia I (1945-1959), yaitu masa demokrasi (konstitusional) yang menonjolkan peranan parlemen sertai parpol dan karena itu dapat dinamakan demokrasi parlementer. Kedua, masa Republik Indone-sia II (1959-1965), yaitu masa demokrasi terpimpin, yang dalam banyak aspek telah me-nyimpang dari demokrasi kon-stitusional. Ketiga, masa Re-publik Indonesia III (1965-1998), yaitu masa demokrasi pancasi-la (Orba) yang merupakan de-mokrasi konstitusional yang menunjukkan sistem presiden-sial.
Keempat, masa Republik Indonesia IV (1998-Sekarang), yaitu masa demokrasi reforma-si yang menginginkan tegak-nya demokrasi di Indonesia se-bagai koreksi terhadap praktik-praktik politik yang terjadi pada sebelumnya.
sebagai sebuah das Sein tetapi sekaligus sebuah das Sollen disisi lainnya. Sebagai das Sein berarti kita berbicara tentang fakta adanya pelbagai kebudayaan dalam masyarakat. Kita menyaksikan atau mengalami kamejmukan cara hidup. Kenyataan atau praktek kehidupan sosial itu merupakan hasil interaksi di antara pelbagai elemen sosial yang akhirnya menghasilkan sebuah kehidupan sosial atau lebih tepatnya sebuah kesadaran sosial bersama. Das Sollen berarti kita berbicara tentang sifat normatif dari kemajemukan budaya itu, bahwa fakta itu tidak sekadar menampilkan dirinya sebagai yang ada tetapi sekaligus mengajarkan sesuatu kepada masyarakat majemuk itu, ungkap Norbert.
Supaya fakta itu tetap berlang-sung demikian maka setiap komponen dari kemajemukan itu perlu menyadari adanya se-bagai bagian dari yang lain. Itu berarti, yang berhak untuk tetap eksis bukan hanya dirinya sendiri melainkan juga yang lain. Karena itu, adalah tidak pada tempatnya kalau satu komponen budaya dalam masyarakat berusaha mempertahankan eksistensinya de-ngan cara menggeser atau me-lenyapkan yang lain.
Dijelaskan, multikulturalisme hidup dalam masyarakat maka ia hidup seturut perkembangan masyarakat itu juga. Pada umumnya multikulturalisme itu adalah hasil dari sebuah proses sosial. Sejarah ikut membentuk kehadirannya. Sejarah membentuk kesadaran kompo-nen masyarakat akan kemajemukan budaya. Kalau sekarang kita menikmati kemajemukan budaya itu tanpa kon-flik, maka itu adalah hasil pro-ses pembentukan kesadaran bersama dari pelbagai komponen masyarakat. Jadi, multikulturalisme bukan sebuah fakta yang dilahirkan atau ditetapkan begitu saja.
Di Barat khusus Amerika dan Australia mengalami proses sejarah itu dengan banyak pe-ngalaman pahit dan kelam. Pengalaman negatif itu mereka berhasil tiba pada suatu model multikulturalisme berwajah manusiawi, sebagaimana ter-ungkap dalam kesadaran akan HAM. Di Barat sejarah masyarakat itu berujung pada lahirnya kesadaran multikulturalisme dan demokrasi sekaligus. Ini suatu yang luar biasa dalam masyarakat Barat. Misalnya di Amerika: Multikuralisme adalah jawaban akan terjaminnya asas freedom of expresion, bahwa setiap orang berhak untuk mengekspresikan apa saja meski apa yang diekspresikan itu berbeda dan bah-kan bertentangan dengan “yang lain”. Kebebasan berekspresi adalah tanda adanya kesada-ran msyarakat akan nilai-nilai multikulturalisme. Seandainya tidak ada kesadaran akan multikulturalisme, mustahil orang bisa sebebasnya mengungkapkan apa yang merupakan nilai kebudayaannya.
Dijelaskan, di negara-negara bekas jajahan umumnya multikulturalisme adalah sebuah ga-gasan yang diperjuangkan. Mengapa? Karena pertama-tama negara-negara bekas jajahan itu membangun kesadaran nasionalisme. Umumnya hal ini dilakukan oleh para pendiri negara itu. Para pendiri membangun kesadaran bersama akan satu bangsa karena selama dijajah mereka dipisah-pisahkan menurut kelompok etnik demi kepentingan penjajah. Jadi semangat nasionalisme harus dibangun dulu, baru kemudian multikulturalisme. Jadi, nasionalisme itulah yang me-mungkinkan lahirnya kesadaran akan sebuah multikulturalisme.
Sementara itu, Wilson M.A. Therik, S.E.M.Si dalam menyampaikan materi kepada peserta mengatakan, Perkem-bangan demokrasi di Indonesia telah mengalami pasang surut. Masalah pokok yang dihadapi Indonesia ialah bagaimana da-lam masyarakat yang beranekaragam pola budayanya, mempertinggi tingkat kehidupan ekonomi disamping membina kehidupan sosial dan politik yang demokratis. Menurutnya, periodesasi demokrasi yang berkembang di Indonesia, adalah; pertama, masa Republik Indonesia I (1945-1959), yaitu masa demokrasi (konstitusional) yang menonjolkan peranan parlemen sertai parpol dan karena itu dapat dinamakan demokrasi parlementer. Kedua, masa Republik Indonesia II (1959-1965), yaitu masa demokrasi terpimpin, yang dalam banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi kon-stitusional. Ketiga, masa Republik Indonesia III (1965-1998), yaitu masa demokrasi pancasila (Orba) yang merupakan demokrasi konstitusional yang menunjukkan sistem presidensial.
Keempat, masa Republik Indonesia IV (1998-Sekarang), yaitu masa demokrasi reformasi yang menginginkan tegak-nya demokrasi di Indonesia se-bagai koreksi terhadap praktik-praktik politik yang terjadi pada sebelumnya.
Dijelaskan, pada masa orde baru dimulai peranan presiden sangat besar. Secara lambat laun tercipta pemusatan kekuasaan di tangan presiden. Presiden Soeharto telah menjelma seba-gai seorang tokoh yang paling dominan dalam sistem politik Indonesia, tidak saja karena ja-batannya sebagai presiden da-lam sistem presidensial, tetapi juga karena pengaruhnya yang dominan dalam elit politik Indo-nesia. Keberhasilan memimpin penumpasan G 30 S/PKI dan kemudian membubarkan PKI dengan menggunakan Supersemar yang controversial, memberikan peluang yang besar kepada Jend. Soeharto untuk tampil sebagai tokoh yang paling berpengaruh di Indonesia.
Kestabilan politik, pembangunan nasional dan integrasi na-sional menjadi isu sentral yang membenarkan pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan politik, termasuk yang bertentangan dengan demokrasi. Pemerintah identik dengan Golkar. Contoh, monoloyalitas PNS. Semua PNS wajib memilih Golkar dalam setiap Pemilu dan Golkar selalu menang setiap kali pelaksanaan pemilu. Orde baru lanjut Wilson, KKN meraja lela. Keberhasilan ekonomi sebagai peluang untuk melakukan KKN oleh para ang-gota keluarga dan kroni penguasa, baik di pusat mau-pun di daerah.
Di bidang politik, pemerintahan Soeharto telah membuat presiden menjadi mutlak karena tidak ada satu institusi/lembaga yang dapat menjadi pengawas presiden dan mencegahnya melakukan penyelewangan kekuasaan.

"Civil Society" dan Demokrasi, untuk Apa?

Masalah Civil socity baru hangat dibicarakan tahun 1990-an di Indonesia. Hal ini lebih disebabkan oleh kuatnya tekanan pemerintah Orde Baru pada tatanan kehidupan ma-syarakat Indonesia. Para ahli ilmu sosial, tokoh intelektual, pejuang demokrasi, dan cen-dekiawan, tampaknya kesuli-tan mencari formula yang tepat untuk memaknai suatu perju-angan menuju perubahan yang dicita-citakan. Dalam ke-adaan galau dan gamang itu bangsa Indonesia berpaling pada civil society yang dijadi-kan primadona untuk memper-baiki tatanan kehidupan ma-syarakat kita yang nyaris lumpuh.
Civil society bergulir dengan pemaknaan yang variatif oleh berbagai kalangan. Ada yang menerjemahkan sebagai ma-syarakat sipil, masyarakat kewargaan, masyarakat ma-dani, dan ada juga yang tetap menggunakan civil society. Semua terjemahan tersebut di-suguhkan kepada publik dengan argumentasi masing-masing, dan karenanya ma-syarakat atau publik juga me-mahaminya menurut selera dan kepentingannya.
Civil society sebenarnya meru-pakan suatu ide yang terus di-perjuangkan manifestasinya agar pada akhirnya terbentuk suatu masyarakat bermoral, masyarakat sadar hukum, masyarakat beradab atau ter-bentuknya suatu tatanan sosial yang baik, teratur dan progresif.
Kata civil cenderung dikono-tasikan sebagai lawan dari militer. Demikian pula madani dalam masyarakat madani cenderung dikonotasikan dengan madaniyah atau Me-dina, yang dikonotasikan ber-nuansa Arab. Padahal arti ma-daniyah sebagai sumber munculnya kata madani adalah peradaban atau civilization.
Lain lagi dengan kewargaan yang merupakan terjemahan dari bahasa latin yakni, civilis atau civis. Atas pijakan yang demikian itulah kebanyakan orang sepakat untuk konsis-ten menggunakan civil society karena terjemahan yang lain dianggap kurang sesuai de-ngan konsep aslinya.

Substansi
Cicero adalah seorang filsuf Romawi yang pertama me-munculkan gagasan societies civils dalam sejarah filsafat politik. Civil society merupa-kan suatu konsep yang dina-mis, yang selalu mengalami perubahan makna.
Misalnya, pada abad 18 civil society dimaknai sebagai ne-gara yang merupakan entitas yang mendominasi entitas lainnya. Di akhir abad ke 18 civil society dimaknai sebagai negara dalam nuansa dua entitas yang berbeda, seiring dengan aliran Hegelian yang membagi kehidupan manusia dalam tiga wilayah yang ber-beda, yakni, keluarga, civil so-ciety, dan negara.
Dalam pandangan Hegel, civil society adalah entitas yang memiliki ketergantungan pada negara. Sebagai misal negara harus mengawasi civil society dengan cara menyediakan pe-rangkat hukum dan adminis-trasi. Hegel berpendapat en-titas civil society mempunyai kecenderungan entropi atau melemahkan diri sendiri (a self crippling entity), oleh karena itu harus diawasi oleh negara.
Pandangan Hegel yang agak pesimistik ini, akhirnya me-miliki gayut dengan panda-ngan Karl Marx tentang civil society. Bahkan Karl Marx memposisikan civil society pada basic material dalam tautan dengan produksi ka-pitalis. Oleh Marx, civil society dimaknai sebagai kelas borjuis yang menjadi tanta-ngan baginya untuk membe-baskan masyarakat dari ber-bagai penindasan, oleh kare-na itu civil society menurut dia harus dilenyapkan demi ter-wujudnya masyarakat tanpa kelas.
Tokoh lain adalah Gramsci. Dalam banyak hal pendapat Gramsci mirip pendapat Marx. Perbedaannya terletak pada memposisikan civil society bu-kan pada basic material tetapi pada tataran supra-struktur, sebagai wadah kom-petisi untuk memperebutkan hegemoni kekuasaan. Peran civil society pada konteks yang demikian oleh Gramsci ditem-patkan sebagai kekuatan peng-imbang di luar kekuatan negara. Pandangan Gramsci ini lebih bernuansa ideologis ketimbang pragmatik. Dalam perjalanan waktu, akhirnya konsep Grams-ci ini dikembangkan oleh Haber-mas seorang tokoh madzab Frankfurt melalui konsep the free public sphere atau ruang pu-blik yang bebas, di mana rakyat sebagai citizen memiliki akses atas setiap kegiatan publik.
Sebagai misal, rakyat boleh omong apa saja, berbuat apa saja baik secara lisan maupun tertulis, melalui media massa, sekolah atau pertemuan-perte-muan asal tidak melanggar hu-kum atau mengganggu ke-pentingan umum. Pandangan Habermas ini, tampaknya se-dang berlangsung di Indonesia saat ini. Cuma yang jadi soal, kita baru berada pada tataran proses belajar, setelah sekian lama kebebasan kita dibelenggu oleh penguasa. Sikap egalitarian bangsa ini telah terkoyak-koyak oleh perjuangan mempe-rebutkan atribut-atribut semu yang dikendalikan oleh invisible hand. Jiwa dari the free public sphere sebenarnya telah ter-akomodasi dalam UUD 1945 Pasal 28. Namun, karena kuat-nya political will penguasa spirit dari gagasan Habermas ini me-mudar nyaris punah.

Konsep Yang Diinginkan
Kalau saja kita mau jujur, mak-na civil society yang kita idam-kan (walau sebagian) adalah konsep civil society menurut Habermas. Kita telah lama me-mimpikan ruang pu-blik yang bebas tempat mengekspre-sikan keinginan kita atau untuk meredusir, meminimalisir ber-bagai intervensi, sikap totaliter, sikap etatisme pemerintah. Pada ruang publik inilah kita memiliki kesetaraan sebagai aset untuk melakukan berba-gai transaksi wacana tanpa harus takut diciduk, diintimi-dasi atau ditekan oleh pengua-sa. Model ini sudah lama tetapi sekaligus merupakan format baru bagi kita untuk merefor-masi paradigma kekuasaan yang telah dipuntir oleh pe-nguasa Orde Baru.
The free public sphere merupa-kan inspirator, motivator seka-ligus basis bagi mekanis-me demokrasi modern, seperti ya-ng dialami oleh Amerika, bang-sa Eropa dan kawasan dunia lain. Demokrasi modern seca-ra substantif mengacu pada kebebasan, kesetaraan, ke-mandirian, kewarganegaraan, regularisme, desentralisme, aktivisme, dan konstitusio-nalisme. Persoalannya bagai-mana cara yang efektif agar spirit demokrasi modern ini bisa disemaikan dengan baik?
Jawabannya, adalah kita mesti membangun dan mengem-bangkan institusi seperti LSM, organisasi sosial, organisasi agama, kelompok kepenting-an, partai politik yang berada di luar kekuasaan negara, ter-masuk Komnas HAM dan Ombudsman yang dibentuk oleh pemerintah. Hal ini tidak serta merta menghilangkan keterhubungannya dengan negara atau bersifat otonom. Berbagai undang-undang, hukum dan peraturan negara tetap menjadi pijakan bagi se-tiap institusi dalam melakukan aktivitasnya. Hal terpenting dalam civil society adalah kesetaraan yang bertumpu pada kedewasaan untuk saling menerima perbedaan. Tanpa itu, civil society hanya merupa-kan slogan kosong.

Hubungan Dengan Demokrasi
Civil Society dan demokrasi ibarat "the two side at the same coin". Artinya jika civil society kuat maka demokrasi akan bertumbuh dan berkem-bang dengan baik. Sebaliknya jika demokrasi bertumbuh dan berkembang dengan baik, civil society akan bertumbuh dan berkembang dengan baik. Itu pula sebabnya para pakar mengatakan civil society merupakan rumah tempat bersemayam-nya demokrasi.
Menguatnya civil society saat ini sebenarnya merupakan strategi yang paling ampuh bagi berkembangnya demokrasi, untuk mencegah hegemoni kekuasaan yang melumpuhkan daya tampil individu dan masya-rakat. Dalam praktiknya banyak kita jumpai, individu, kelompok masyarakat, elite politik, elite penguasa yang berbicara atau berbuat atas nama demokrasi, walau secara esensial justru sebaliknya.
Kesadaran masyarakat akan demokrasi bisa dibeli dengan uang. Kelompok masyarakat tertentu diatur untuk bertikai demi demokrasi. Perseteruan eksekutif dan legislatif saat ini sebenarnya tidak kondusif bagi pemulihan ekonomi kita, tetapi hal itu tetap dilakukan demi demokrasi. Kalau rakyat kecil selalu jadi korban, apakah makna demokrasi yang kita perjuangkan sudah betul? Atau sedang mengalami distorsi.