Dalam surat jawabannya ke DPRD yang tembusannya juga dikirim kepada 4 Ketua DPP, Bupati Simon Hayon juga menilai bahwa dalam hal iman, umat tidak berwewenang untuk menilai apa yang disampaikannya itu merupakan ajaran sesat atau tidak.
Ketidakhadiran Bupati Simon Hayon pada kesempatan itu memang sudah diprediksi sebelumnya oleh Forum. Walau demikian tidak ada reaksi berlebihan. Setelah menyampaikan beberapa pokok piran, Forum kemudian meninggalkan gedung Bale Gelekat Lewotana menuju Kathedral Larantuka. Setelah berdiskusi sebentar, seluruh peserta unjuk rasa kemudian membubarkan diri.
Tokoh Umat, Philipus Riberu usai ke Dewan menyatakan penyesalannya terhadap sikap Bupati Simon Hayon yang menolak hadir untuk mengklarifikasi langsung pernyataan-pernyataannya. Sikap seperti ini menurut Philipus Riberu memperlihatkan adanya keangkuhan pada diri Simon Hayon. “Mungkin karena dia sudah menyatakan dirinya sebagai penguasa bumi.”
Walau demikian, baik Philipus Riberu maupun Ketua DPP Kathedral Larantuka Paulus da Costa masih menaruh harapan pada lembaga DPRD untuk bisa menggunakan hak-hak politik mereka untuk menghadirkan Bupati Simon Hayon.
Sebelumnya, H.M. Syahril Gunawan dari PPP dihadapan Forum mengaku, lembaga kesulitan menemukan dasar bagi mereka untuk menghadirkan Bupati Simon Hayon. Mekanisme yang berlaku di lembaga itu menurut Syahril Gunawan sama sekali tidak memungkinkan Bupati hadir dan berdialog dalam forum di DPRD. “Terus terang, kami sangat kesulitan.”
Salah kaprah
Menanggapi penilai Bupati Simon Hayon sebagaimana surat jawabannya kepada DPRD tentang ketidakhadirannya memenuhi panggilan dewan, Forum melalui pokok-pokok pikirannya antara lain menjelaskan bahwa, dalam hal citarasa iman (sensus fidei), perasaan iman merupakan milik segenap umat, ’dari para uskup hingga para awam beriman yang terkecil’. Iman itu sudah hidup di dalam umat, baik dalam pengertian, pemahaman maupun penerapannya di dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Forum menilai, dewan para Uskup dan Paus adalah badan hierarki dalam Gereja yang mempunyai kompetensi ataukah wewenang mengajar (Magisterium) di dalam hal iman dan susila (moral). Magisterium, dalam hal ini Dewan para Uskup bersama pemimpinnya Paus adalah badan dan orang yang satu-satunya berhak menafsirkan dan menyuruh mewartakan dengan resmi ajaran-ajaran iman di dalam Gereja Katolik.
”Jadi, Bupati Simon Hayon tidak boleh salah kaprah. Iman itu sudah hidup di dalam citarasa umat beriman sekalian dan sudah ditradisikan dari masa ke masa kebenaran yang sama. Beliau, meskipun seorang Katolik, tidak di dalam kewibawaan menafsirkan dengan resmi, apalagi dengan sesukanya, hal yang berhubungan dengan keagamaan di dalam disiplin Gereja Katolik,” tulis Forum itu sebagaimana yang dibacakan korlapnya Bartolomeus Payong.
Menjawab pertanyaan NTT Online soal sikap forum itu ke depan pasca ketidakhadiran Bupati Simon Hayon, Bartholomeus Payong mengatakan bahwa kehadiran mereka kali ini dalam rangka memenuhi undangan Dewan untuk mengklarifikasi salah satu tuntutan yang disampaikan forum pada aksi sebelumnya.
”Karena hari ini bupati tidak hadir maka nanti kita akan kembali lagi, sesuai dengan tuntutan kita sebelumnya. Soal waktunya nanti akan dibicarakan kemudian dalam rapat forum.”
Tidak pantas
Dalam aksi damai pada Selasa 17 Juni 2008 lalu, forum merumuskan sejumlah hasil kajian mereka atas berbagai pernyataan, sikap dan tindakan Bupati Simon Hayon yang dinilai menyesatkan, provokatif, menebar kebencian dan tidak ilmiah itu.
Menurut forum, Bupati Simon Hayon telah mengartikan secara salah kata Bupati sebagai “Penguasa Bumi” Pernyataan itu menurut forum merupakan penyimpangan terhadap makna kata “bupati” sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan telah menempatkan dirinya sebagai penguasa atas bumi dan isinya. Dan sikap ini menurut forum harus segera dicegah agar tidak berkembang lebih jauh.
Forum juga menilai, penilaian Bupati Simon Hayon tentang Pakualam, Pakubuwono, dan Pakubumi menurut forum menunjukan arogansi kekuasaan dan “penghinaan” terhadap kepemimpinan dan gelar kebangsawanan dalam tradisi kraton di kesultanan Yogya. Hal ini dapat menimbulkan permusuhan antaretnis dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Bupati Simon Hayon juga dinilai menebarkan ajaran yang menyesatkan terkait pemberian pengertian baru atas kata “Nusantara” yang disebutnya berasal dari kata “Nuh” yang artinya “Nabi Nuh”, kata “San” berarti “dan” atau “dengan”, atau “sekaligus” dan kata “Tara” (istri dari Nabi Nuh). Menurut Bupati Simon Hayon, “definisi selama ini karang dan tanpa dasar (bukan nusa dan antara)”.
Forum menilai, sikap dan pernyataan seperti ini tidak saja melecehkan dan menistai ajaran agama Kristiani dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, tetapi juga merupakan upayanya untuk mengubah doktrin bangsa Indonesia mengenai Wawasan Nusantara.
Sebagai seorang pemimpin publik, Forum itu juga menyesalkan sikap Bupati Simon Hayon yang telah menebar kebencian dan provokatif terkait pernyataannya tentang nama orang dan suku tertentu. Forum menilai, dengan menggunakan metode irasional dalam menilai karakter seseorang berdasarkan penafsiran nama orang. Orang yang menyandang nama Laga menurutnya adalah orang perusak. Dan orang yang menyandang nama Herin adalah orang pinggiran.
Pernyataannya ini menurut Forum merupakan pernyataan Bupati Simon Hayon yang telah secara terang-terangan menerbar kebencian di muka umum terhadap pribadi yang memiliki nama itu yang ditafsir sebagai sikap yang tidak pantas diperlihatkan seorang pemimpin.
Terkait hal-hal tersebut, Forum melalui pernyataan sikapnya antara lain mengutuk semua pernyataan Bupati Flores Timur, Drs. Simon Hayon sebagaimana tersebut di atas sebagai bentuk penyesatan, penistaan, pembodohan terhadap keyakinan hidup umat beragama di Flores Timur dan keluhuruan adat dan budaya Lamaholot.
Karena itu mereka mendesak Bupati Simon Hayon untuk berhenti menyampaikan pendapat, pandangan, ataupun keyakinan pribadinya yang irasional, menyesatkan, diskriminatif, provokatif di depan umum hingga meresahkan, mengganggu, membodohkan, melecehkan, merusak citra dan martabat umat beragama dan masyarakat berbudaya Lamaholot di daerah ini.
Forum juga mendesak Bupati Simon Hayon untuk segera menyampaikan permohonan maaf kepada segenap umat beragama di wilayah itu melalui media massa dan pada sidang paripurna khusus DPRD Flores Timur. Fortum juga mendesak Bupati Simon Hayon untuk segera mengembalikan citra agama, budaya, dan pemerintahan, yang telah diopinikan/dipraktekkan secara salah.
Selain itu, Forum yang melibatkan ratusan umat itu juga mendesak DPRD Flores Timur untuk mengambil sikap politik atas segala perilaku menyimpang berkaitan dengan fenomena takhyul dan sia-sia dari Bupati Flores Timur, Drs. Simon Hayon, dan menyerukan serta menghimbau kepada segenap umat beragama dan seluruh rakyat di Flores Timur untuk tidak memberikan ruang, waktu, hati dan pikiran untuk dirasuki ajaran sesat sebagaimana yang disampaikan Bupati Simon Hayon atau siapapun. (peren Lamanepa/nttonlinenews)